Tuesday, December 16, 2008

Hidup Baru :)

Waw, ternyata posting terakhir di blog ini di bulan Juni, enam bulan yang lalu. Berarti setelah itu saya melewati berbagai peristiwa penting, antara lain masa pengolahan data skripsi, revisi, forum (seminar hasil) skripsi, sidang, pindah kostan, wisuda, sampai pulang kampung :)

Dan akhirnya..setelah sekian lama blog ini tidak di-
update, sekarang tibalah saat yang berbahagia (n_n) saya kembali berselancar di dunia maya ini. Cerita kali ini akan diawali dengan kabar-kabari dari saya ^^

Alhamdulillah setelah melewati perjuangan yang cukup panjang..selesai juga tugas saya sebagai mahasiswa S1. Sekitar empat bulan yang lalu saya mengikuti prosesi wisuda sarjana. Walaupun sebenarnya rasa lega itu sudah memenuhi rongga dada saat dosen penguji mengucapkan selamat pasca sidang. Tapi yaa, bagi kebanyakan orang kan upacara wisuda-lah akhir dari perjuangan kuliah :) Akhir dari kuliah…tapi awal untuk perjuangan baru. Episode seperti apa yang akan saya lalui setelahnya?

Selepas masa perkuliahan, saya sempat mengalami disorientasi. Bingung menentukan langkah selanjutnya. Berbagai rencana yang pernah disusun mendadak menjadi satu hal yang tidak menarik, tidak realistis, bahkan terkesan egois. Saya sendiri kaget dengan apa yang saya alami. Belum lagi dua bulan setelah itu saya kembali ke kampung halaman (rencana untuk ‘tinggal dulu’ di Bandung ternyata ditentang habis oleh keluarga besar =D). Akhirnya kembali menjadi ‘anak rumahan’ setelah sembilan tahun pergi. Yah, walaupun semasa SMU dan kuliah saya sering pulang, tapi biasanya itu dalam rangka liburan dan tentu saja tidak lama.

Campur aduk perasaan saya ketika harus pulang dan meninggalkan kehidupan di Bandung yang telah cukup lama saya akrabi. Saya sadar bahwa saya harus segera menyesuaikan diri terhadap ini semua. Bukankah saya begitu mencintai kampung halaman saya ini? Saya pun pernah berjanji untuk kembali pulang padanya. Mungkin inilah saatnya.

Tapi ternyata, walaupun saya mencoba untuk menikmatinya, proses penyesuaian diri ini sempat membuat saya stres. Banyak hal yang dulunya biasa saja, tiba-tiba menjadi masalah =D Lucu memang..karena saya juga mengalami cultureshock, di kampung halaman saya sendiri. Sampai akhirnya seseorang yang sangat saya hormati (ayah relawan Gunungkidul-red) mengingatkan saya, “shock ya dengan kampung sendiri? Jangan2 orang kampung juga shock lihat Liza :)” Jleb banget rasanya, hehe. Saya jadi sadar bahwa bukan saya sendiri yang ‘belum nyaman’ dengan perubahan-perubahan ini. Nuhun ya, pak.

Yah, setelah itulah saya mencoba untuk lebih bertoleransi atas apa saja yang tidak sesuai dengan diri saya, karena bukankah orang lain juga bertoleransi atas kehadiran saya, yang secara langsung maupun tidak langsung juga memberikan perubahan dalam kehidupan mereka?

Suatu situasi memang akan lebih menenangkan ketika kita mampu memahami dan menerimanya. Itulah yang saya coba lakukan. Menerima perubahan dan melakukan penyesuaian terhadapnya memang tidak mudah, tapi mau tidak mau harus dijalani. Jadi, ya tentu saja harus berdamai dengan diri sendiri dan situasi.

Salah satu ciri seseorang yang sehat mental adalah reality testing-nya baik (mampu menerima kenyataan) dan mampu menyesuaikan diri. Saya sadar, mental saya sempat ‘terguncang’. Terbukti kemarin saya sempat psikosomatis, karena cukup aneh dengan kondisi saya yang tercukupi gizi dan istirahat =D tetapi malah kemudian sering sakit. Kata ayah saya, saya sedang slow down, yang biasanya berkecepatan 100 km/jam menjadi 40 km/jam (seorang sahabat malah sempat berseloroh, “20 km/jam kali” :D). Meskipun situasinya berbeda, beliau sepertinya sedang menurunkan ilmu “cara menghadapi masa pensiun” (yang telah dilewatinya) pada saya.
Alhamdulillah saya (dibantu dengan beberapa sahabat) mecoba ‘mengobati’ diri saya, dan mengajaknya kembali bercengkerama dengan berbagai aktivitas. Walaupun saat ini badan sulit bergerak dengan lincah, tapi setidaknya saya tidak ingin kepala saya diam saja :) Saya ingin terus belajar untuk bisa menerima, menikmati hidup, dan mengamalkan apa-apa yang telah saya dapatkan.

Mohon doanya kawan...semoga diri ini bisa selalu bermanfaat :)


Salam,
Liza :)

NB: Kampung halaman saya ini, terutama kota kecil nan tenang tempat saya tinggal, banyak dikagumi oleh teman-teman luar daerah yang berkunjung. Kota yang bersahabat dan memiliki banyak harta karun. Kapan-kapan berkunjunglah, kawan..

Monday, June 23, 2008

Negeri Pelangi (2): Hidup itu Perjuangan

Siang itu hujan deras, saat bis yang saya tumpangi memasuki jalan Soekarno Hatta, Bandung. Ada SMS masuk ke Hp saya, dari A’Syarif pekerja sosial di RPA, “Za, ujan gede bgt euy. Besok aja ya sekalian nonton film di RB”. Saya tersenyum, bingung.

Hari itu rencananya saya mau ke rumah belajar binaan sebuah RPA (Rumah Perlindungan Anak) di Pasirkoja. Nah, ada dua orang teman saya (Lieza dan Mimim) yang pingin liat kegiatan rumah belajar itu, dan sekarang mereka juga sedang di perjalanan menuju ke sana. Wah, bisa ngomel2 ntar dua orang itu kalo ga jadi, hehehe. Akhirnya, segera saya hubungi mereka dan mengubah rencana untuk bertemu di perempatan Pasirkoja. Ngobrol dengan anak-anak di jalan aja lah, pikir saya. Apalagi saat itu saya hanya berjarak beberapa ratus meter lagi dari sana.


**********
Setelah saya sampai di perempatan, tempat anak-anak jalanan dan ibunya mangkal, lagi-lagi saya bingung. Kenapa sepi, ya? Ibu-ibu juga pada ga ada, saya menggumam sendiri. Hanya ada satu orang ibu yang sedang membersihkan gerobak jualannya.

“Kok sepi, bu? Anak-anak pada ke mana?”, tanya saya.
“Neng..telpon ke yayasan, neng!!”, ibu itu setengah berteriak menjawab pertanyaan saya.
Oo, emang ada acara apa bu, di yayasan?”
“Bukan, neng!! Anak-anak ditangkep!! Telpon ke yayasan, neng!!”,
ibu itu tambah panik.
“Ha?”

Saya kaget, tapi setelah itu segera saya hubungi seorang pekerja sosial di yayasan RPA itu dan memintanya bicara langsung dengan pihak yayasan. Di sebelah ibu itu yang berbicara dengan suara bergetar, saya terdiam.

Rabb...apa yang ingin Kau tunjukkan siang ini? Saya menarik nafas panjang.

**********
Setelah melapor, saya dan ibu itu menunggu pihak yayasan, yang katanya mau mampir ke perempatan ini sebelum ke Polsek. Ibu itu bercerita bahwa ketika beliau sedang Sholat Dzuhur ternyata di perempatan jalan itu ada razia dari Polsek. Anak-anak yang memang sedang bekerja di jalan itu pun ditangkap petugas termasuk para ibu yang sebagian besar berada di pinggir jalan. Ibu itu diberitahu dua orang anak yang berhasil melarikan diri.

“Ah, padahal mah neng, yang suka bikin ulah itu anak-anak yang udah pada gede. Suka mabok, berantem, kalo ga dikasih duit ngegores mobil. Tapi jadinya, anak-anak yang kecil juga kena tangkep. Untung Iki (anaknya) lagi sekolah, neng, ibu juga lagi sholat..kalo ga, pasti ibu juga ditangkep”, cerita ibu itu mengalir saat saya ngaso di gerobaknya.

“Tapi kalo lagi razia gini, anak-anak yang ga kena razia biasanya dapet uang banyak neng. Iki pernah dapet sampe lima puluh ribu”, ibu itu melanjutkan ceritanya sambil tersenyum bangga.

Saya hanya menatap si ibu, tidak ingin menanggapi. Hff..keras ya hidup mereka, pikir saya. Bahkan kejadian seperti ini malah jadi kesempatan bagus bagi anak yang lain. Tiba-tiba Hp CDMA saya berbunyi, teman saya mengabarkan kalau mereka hampir sampai.

“Handphone-nya banyak ya, neng?”, ibu itu menatap saya kagum. Duh, saya jengah.
Berapaan neng, harganya? Mahal ya?”

(Hff...saya merasa jadi penjahat saat itu. Walaupun banyak orang punya dua, tiga sampai banyak Hp; walaupun biasa aja orang yang punya dua Hp (satu GSM, satu CDMA); walaupun Hp itu insyaAllah halal, walaupun saya punya dua Hp untuk lebih memudahkan komunikasi dengan teman-teman BEM, tapi saya sebenernya lebih pingin si ibu ga tau tentang itu semua. Hehe, saya maksa ya? Padahal pasti Allah punya rencana yang hebat dengan menunjukkan hal ini ya. Mungkin untuk mengingatkan saya bahwa masih banyak orang yang lebih membutuhkan dan juga mengingatkan saya untuk lebih sering bersyukur atas tiap nikmat yang diberikan-Nya)


**********
Air yang menggenang di pinggir jalan sudah naik hingga trotoar, saya pun harus merelakan kaus kaki putih saya menghitam dan basah hingga setengah rok saya. Dua orang pekerja sosial dari yayasan datang dan berbincang sebentar sebelum mereka pergi menuju Polsek Bandung Barat untuk mengurus anak-anak yang ditangkap.

“Kamu teh ngapain di sini, Za?”, tanya mereka heran. Saya nyengir. Ya, soalnya biasanya kalau saya ke perempatan ini ditemani orang dari yayasan.
“Mau ikut ke Polsek ga?”, tanya mereka lagi.
Sejenak saya melirik ke kunci motor yang dipegang salah seorang dari mereka, “Kalian berdua pake satu motor kan?”, saya balik tanya. Dan akhirnya mereka yang gantian nyengir.
Hehe.. Ada-ada aja ya.

“Ini mah udah biasa, Za. Paling ntar sore anak-anak udah bisa pulang, ditahannya itu paling lama tiga jam“, jelas seorang dari mereka.

Saya hanya manggut-manggut mendengarnya. Yah, semoga anak-anak itu baik-baik saja.

**********
Setelah mereka pergi, saya kembali duduk di gerobak si ibu sambil menunggu teman saya yang ternyata belum sampai juga. Lima orang anak menghampiri kami, tiga perempuan, dua laki-laki. Salah satunya adalah Iki, anak ibu itu. Kami mengobrol, membahas kejadian razia hari itu, sampai ketika teman saya datang (ternyata mereka nyasar sekitar setengah jam dunk). Dengan berjingkat, mereka berjalan ke arah gerobak dan bergabung bersama kami. Setelah mengobrol beberapa saat, kami berpamitan pada ibu dan anak-anak di perempatan itu.

**********
Saya dan dua teman saya mampir sebentar ke rumah belajar, yang letaknya tidak begitu jauh dari perempatan, sekalian menunjukkan jalan ke mereka supaya besok-besok ga nyasar lagi. Hehehe.. setelah masuk ke gang tempat rumah belajar itu, seorang teman saya lebih banyak diam.

“Kamu kenapa, Mim?”, tanya saya ketika kami sedang memesan sate Padang di Griya, tak jauh dari sana juga.
“Iya, ternyata beda banget dari bayanganku sebelumnya ya.....bla, bla, bla”, teman saya itu menjawab.
Saya dan teman saya yang lain nyengir, dan berkomentar,
“Berat ya?”, “Aku ga paham”,

Hehehe...berat karena ga paham yang diomongin itu apa soalnya (Ampun, Mim). Setelah lama kami mengobrol di warung itu, kami memiliki kesimpulan yang sama, bahwa hidup anak-anak jalanan itu penuh tantangan, yang membuat mereka lebih dewasa sebelum waktunya. Seharusnya kami lebih banyak bersyukur karena mendapat kesempatan yang lebih baik dari mereka.

Ya, lagi-lagi saya mendapat hikmah dari adik-adik saya di jalan. Selalu seperti itu. Mereka mampu membuat saya makin mencintai mereka.


**********
Menjelang ashar, saya dan teman-teman saya memutuskan untuk pulang. Kami pun berpisah, saya berbeda arah dengan mereka. Di perjalanan pulang, saya mendapat kabar bahwa anak-anak yang ditangkap itu tidak bisa pulang hari ini, mereka ditahan sampai keesokan harinya. Itu pun berhasil setelah yayasan meminta bantuan KPAID.

Saya memberitahu teman saya berita itu,,kami miris. Salah satu balasan dari teman saya: Iya, don’t know what to say..padahal mungkin ini Cuma sebagian kecil pengalaman hidup yang sudah biasa mereka alami. Hari ini penuh pelajaran berharga..

Saya hampir menangis sewaktu membaca SMS dari teman saya itu. Padahal mungkin isinya sangat biasa, tapi bayangan mereka yang berjuang untuk hidup itu membuat semuanya tak lagi biasa.

Ada Donto, anak berumur 5 tahun, dengan helm dan spon busa untuk mengelap mobil atau motor yang lewat. Risma, bocah cantik 8 tahun yang bersuara bagus (Lagu favoritnya “Penganten Anyar” :D). Sri, anak pendiam yang rajin sekolah dan berulangkali meminta saya mengajari bahasa Arab (padahal saya juga ga bisa, hehe). Angga, Nia, Iki, Fahmi, dan anak-anak yang lainnya..


Bayangan mereka berlarian saat polisi datang merazia, ah apa ya yang mereka lakukan malam hari di kantor polisi? Tapi pasti mereka tetap ceria, dasar anak-anak! Pasti mereka tengah bermain, mencari kesenangan di sela-sela kerasnya hidup. Saya tersenyum saat ingat mereka pun lebih sering bermain di jalan daripada bekerja. Ya, selalu ada pelangi di mata mereka. Pelangi yang tidak akan hilang selama mereka berjuang untuk menjalani kehidupan.

Tapi Dik, semoga segera kau temukan cara yang lebih baik untuk memetik pelangi itu...

DAMRI, di suatu sore yang basah

Sunday, June 22, 2008

Anugerah Terindah...

Hari sudah semakin malam. Seharusnya saya sudah mulai mengerjakan skripsi karena tadi seharian listrik mati, ada pemadaman listrik bergiliran. Tapi saya belum bisa mencurahkan seluruh pikiran saya ke sana, hmm…mungkin karena perasaan saya sedang ‘penuh’. Banyak kejadian emosional dari kemarin, sampai tadi sore sewaktu orang tua saya menelepon.

Kangen.


Ya, saya kangen rumah. Sudah lama saya tidak pulang, ini rekor kedua saya setelah tahun kemarin. Memang tidak sebanding dengan teman-teman saya yang rumahnya lebih jauh, yang biasanya ngomel-ngomel kalau saya cerita ini. Hehe.. soalnya dalam tahun ini saya sudah dua kali pulang dan teman-teman saya terakhir kali pulang waktu lebaran tahun kemarin.


Walaupun belum sampai empat bulan saya tidak pulang, sudah banyak momen penting yang terlalui, tanpa saya...

  • Kelahiran Syifa, anak pertama dari Akhi, kakak saya yang ketiga. Beberapa hari menjelang kelahirannya, sama seperti kakak2 saya yang lain, kakak saya yang satu ini juga ‘merepotkan’ saya dengan meminta banyak pilihan nama untuk anaknya. :) Akhi juga meminta izin memakai nama Syifa (ini nama panggilan kesayangan saya dari Sidi, kakek saya). Hmm..tentu saja saya tidak keberatan, dan berarti bolehlah saya berpikir bahwa betapa ia mencintai adiknya yang keren ini. Hehehe...
  • Ulang tahun mama. Saya ingat waktu itu saya lagi gencar-gencarnya berhemat karena (ternyata) skripsi itu ‘mahal’ ya. Tapi saya ingin mengobrol dengan mama dan mengucapkan ‘happy bday’ langsung. Jadi, saya coba me-misscall mama yang kemudian tentu saja ditelepon balik ;) “Kenapa, nak?” “Selamat ulang tahun ya, ma..” bla..bla..bla....dan seterusnya “Tadi kenapa telp-nya putus waktu diangkat?” (hehehe, saya nyengir sendiri) “iya, ma..Lz pingin nelpon, mau ngucapin selamat ulang tahun, tapi karena lagi irit pulsa jadi misscall aja, jadinya kan mama yang nelpon” (dan akhirnya mama tertawa panjang, hehe..maafkan anakmu ya ma). Momen ini berakhir dengan terisinya pulsa hp saya beberapa waktu kemudian. Ah, mama...jadi malu :)
  • Adik saya, Nanda, lulus. Sebulan sebelumnya, dia menelepon saya..lagi-lagi menanyakan skripsi, dan “Duliku, kapan lulus?” he..cape deh. Ternyata di malam itu, dia baru saja membuat kejutan manis untuk keluarga, orang-orang tersayang. Memberi kado ulang tahun ayahnya dengan paket berisi skripsi, padahal tidak ada satu orang pun yang percaya dan pernah melihatnya berurusan dengan perskripsian. (tapi Duli percaya kok, Nda :))
    Dia adik sepupu saya, kami hanya berjarak lima bulan Tapi dia mampu membuat saya merasa punya adik laki-laki yang dari kecil saya inginkan. Saya sering sekali lupa kalau dia satu angkatan dengan saya. Ternyata dia sudah besar ya :) hehe, berasa udah tua banget jadinya.
  • Diva, keponakan saya dari Paduka, kakak saya yang kedua, katanya sudah bisa merangkak. Mama pernah menelepon sewaktu menginap di rumah Paduka karena Diva sakit. “Ga apa-apa kok, demam biasa aja, kayaknya karena mau merangkak” jelas mama waktu itu. Hmm...Bayi itu pertumbuhannya memang cepat ya.
  • Fazli, keponakan saya yang pertama (anak Tuan, kakak saya yang pertama) kemarin cerita kalau ia menang lomba. “Ibu, Anjeng menang lomba” (Nama adatnya Fazli itu Kanjeng Tuan Migo, hehe ribet ya? :p) “Wah, hebat...lomba apa, Njeng?” “Lomba masukin pensil dalem botol” (ia menjawab dengan bangga).
    Lalu... “Unan juga” (ini suara adiknya Fazli, ga mau kalah rupanya) “Unan lomba juga?” “Unan cekolah” (hehe, ga nyambung ternyata)
    Pembicaraan dengan dua balita ini biasanya berakhir dengan..”ibu, kapan pulang? bawain loti ya!!” (loti = roti) “Roti apa?” “Loti bonis” (bonis = Brownies).
  • “Nak, ikan peliharaan papi nambah. Sekarang jadi banyak ikan patin loh..” hehe, ini berita dari ayah saya. Ga jauh-jauh dari hobinya, yang sekarang dibisniskannya. Atau “Papi ditawarin masuk partai nih.. mending partai X atau Y?” “hmm, partai A aja, pi..kan keren, bagus banget, InsyaAllah baik” hehe..dan ternyata jawabannya adalah .. “ngga ah, partai A kan teroris. Kayak kamu, sering neror papi...ngerayu minta macem2”
    m(_ _)m
    (salah ngambil contoh, nih.. :p)
  • “Kamu lagi ngapain?”, “udah ga usah ngoyo”, “istirahat ya”, “udah makan belum?”, “kamu ini ngapain sih di jalan terus?”, “nginep di bandung lagi? ga bagus ah keluyuran terus”, de el el. Ini kalimat rutin mama selama saya mengerjakan skripsi, sampai-sampai Febi, teman saya, juga ikut diceramahin. Hehe... ma, skripsi Liza kan tentang anak jalanan, jadi ya wajar lah nongkrong di jalan mulu :)
  • Waktu itu saya lagi mengikuti pelatihan di RSHS. Tuan menelepon, berkali-kali tapi sepertinya akan repot kalau saya angkat. Akhirnya saya sms kalau sedang ga bisa angkat telp. “knp?”, “gpp, kangen aja” (yaah, kirain apa. Baru juga kemarin nelp).
    Malamnya kakak saya menelepon lagi, ternyata beliau sudah di Palembang. Kami membahas banyak hal dari pernikahan seorang adik sepupu kami sampai topik lainnya “....dulu kan tuan ama teman-teman yang berjuang untuk reformasi. Jadi sekarang kalian dong yang meneruskan”. Haaah, dasar mantan aktivis! Dampak dua tahun jadi ketua senat mahasiswa ternyata masih sangat berpengaruh. Bagus lah, pertahankan idealisme itu bro!!
  • “Dek..kapan pulang? Ada games terbaru loh, ---- (saya lupa apa namanya). Cariin ya di Bandung, di sini mahal nih”. Ini Akhi yang menelepon. “Hah? Akhi...kirain mau nitip beliin mainan atau apa gitu buat Syifa, ternyata....ck..ck...(sok tua neh)”, “ga mau? Awas ya kalau nanti pinjem” (ya jangan gitu juga sih...hehe)
  • "Dek, paduka ama papi lagi di Palembang nih. Ada tuan juga”, Waah, berita yang menyenangkan untuk saya, hehe. “Asiiik...kirimin empek-empek ya, kemplang juga! Lewat tiki bisa, atau kirim aja via bis nanti Liza yang ambil”, “aah kamu ini. Selalu aja minta kirimin macem-macem, nyesel deh gw cerita”. Huehehe...
  • “Duli...kita lagi di kampung nih, mau pesta kambing guling di ladang. Kasian deh ga ikut” Ini celotehan sepupu2 saya yang memang sengaja membuat saya keki. Tapi ga mupeng kok.. :p
  • “Nak, besok kita mau ziarah ke kuburannya Sidi (kakek saya) loh” Berita dari mama ini membuat saya terdiam cukup lama, mencoba menghitung dalam hati...ya, berarti sudah empat tahun Sidi pergi. Hmm, kangen sidi...my beloved hero
  • Dan masih banyak lagi cerita yang mereka kirimkan, tentang momen-momen tanpa kehadiran saya, agar saya tak melewatkannya. Tiap cerita itu membuat saya merangkainya menjadi bayangan yang indah, menjadikannya nyata dalam pikir, dan merasakan bahwa saya sedang ada bersama mereka.
    (tapi tetep aja kangen...)

Keluarga saya bukanlah keluarga yang romantis abis, tapi insyaAllah cinta tidak akan ada habis-habisnya. Selalu ada perhatian dan cinta yang ditunjukkan dengan cara masing-masing. Walaupun sewaktu kecil saya sering sekali protes karena beberapa perlakuan orang tua saya yang berbeda untuk kakak-kakak saya dan saya, seiring berjalannya waktu tak hentinya saya syukuri. Mereka selalu mendukung apa yang saya pilih, “terserah Liza aja, Liza yang lebih tau apa yang terbaik”, saya hanya perlu memberikan alasan yang kuat untuk pilihan itu, menjalankan pilihan itu dengan sebaik mungkin, dan menerima segala konsekuensinya. Sebuah pelajaran yang tak ternilai harganya...

Rabb, terima kasih atas anugerah yang indah ini. Berikanlah hidayah dan ridho-Mu, kekalkanlah kasih sayang di antara kami dan pertemukanlah kami kembali di jannah-Mu kelak.



Teruntuk keluarga tercinta..
Pap, Mam,
Tuan, Paduka, Akhi,
Kanjeng, Mahkota, Suhunan,
Fazli, Mara, Diva, Syifa,
Seluruh Mega-ers dan Muin-ers..
InsyaAllah..akan kubawakan pelangi itu untuk kalian
Luv u all

:)

Negeri Pelangi (1): Antara Jalanan dan Kehidupan


Creek…creek…creek…
Semilir angin berhembus…
Bawa dendangkan lagu...
Mengapa anak jalanan...
Tergantung hidup di jalan...
Creek…creek…creek…


Bagi pelanggan setia angkutan umum, lirik lagu di atas pasti akrab di telinga. Biasanya yang menyanyikan lagu ini adalah anak kecil berpakaian lusuh dengan membawa kecrekan, yang terbuat dari tutup botol minuman yang digepengkan dan dipaku pada sepotong kayu.

Ya, mereka adalah anak-anak yang kita sebut anak jalanan. Anak-anak yang termarjinalkan dari kehidupan masyarakat. Mungkin saat ini banyak yang merasa jumlah mereka semakin banyak, semakin mengganggu ketertiban, keindahan, dan kenyamanan kota. Fenomena anak jalanan ini pun seperti gunung es, yang hanya tampak pada permukaannya.

Kenapa anak-anak itu turun ke jalan? Seperti apa karakternya? Hmm, saya tidak akan menceritakan detailnya di sini karena itu berarti saya harus memindahkan skripsi saya ke sini :P

Apa yang menarik dari anak jalanan? Dengan penampilan yang kumuh dan perilaku yang kasar? Ini adalah apa yang pernah saya pikirkan sewaktu SMU dulu. Saya lebih memandang mereka sebagai anak-anak yang memiliki (atau memilih) hidup yang menyedihkan. Dulu saya hanya memperhatikan mereka di jalan dan sekitar terminal yang selalu saya lewati setiap hari. Di terminal itu juga ada satu ruko yang bernama ‘rumah singgah...’ (saya lupa namanya, kalau tidak salah ‘Ananda’). Saya juga selalu menyempatkan diri untuk membaca perkembangan mereka yang diulas di koran.

Namun, itu semua hanya bersifat simpati, hmm..mungkin lebih tepatnya ketertarikan. Saya tertarik untuk melihat lebih jauh seperti apa kehidupan mereka, apa yang membuat mereka turun ke jalan, apa yang mereka rasakan, lalu bagaimana cara membantu mereka. Hanya itu. Saya tidak bergerak. Terlalu berat rasanya untuk melangkah mendekati mereka. Hhfff...mereka kan tampak menyeramkan. Jadi saya putuskan membantu lewat doa saja hingga suatu waktu saya diberi kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan mereka.

Setelah saya tinggal di Bandung (Jatinangor sebenernya, hehe..), ternyata jumlah anak jalanannya lebih banyak dibandingkan di Lampung (ya iya lah...kan kotanya lebih ‘besar’). Sangat mudah (sekali) menemukan anak jalanan di pinggir-pinggir jalan, terminal, pasar, dan pusat keramaian lainnya.

Dulu saya sempat kesal dengan pemerintah terutama dinas sosial yang memasang peringatan untuk tidak memberi uang kepada anak-anak jalanan tersebut. Anak-anak itu butuh makannya sekarang bukan? Kalau harus menunggu bantuan dari pemerintah kapan mereka makannya? Memangnya sudah pasti akan didistribusikan ke anak-anak itu dana yang masuk ke dinas sosial? Dan masih banyak lagi ‘protes-protes’ yang saya ajukan.

Sedari kecil, orang tua saya selalu mengajarkan untuk memberi, bahkan ayah saya selalu memberi saya sangu sekantung uang receh jika saya akan berpergian. Untuk pengamen dan anak-anak di jalan, katanya. Itulah salah satu hal yang mungkin membuat saya pernah menentang peraturan itu, ditambah lagi ketidakpercayaan saya kepada pemerintah. :)

(Ya..memang setelah mengikuti lika-liku dunia per-psikologi-an, sekarang pendapat saya tentang peringatan ini sudah sangat jauh berbeda)

Pada kuliah semester dua, saya sering pulang malam hari karena harus mengikuti les di Bandung. Karena bus Damri hanya ada sampai pukul enam, jadi saya harus pulang dengan menggunakan angkot. St.Hall – Gedebage, Cicadas – Cibiru, Cibiru (Cicaheum) – Cileunyi, Cileunyi – Jatinangor (Bener ga ya rute angkotnya?). Di Cileunyi, biasanya ada satu orang anak yang mengamen di sana dengan lagu favoritnya...

“......... Mengapa harus takut pada matahari
kepalkan tangan lawan teriknya
Mengapa harus takut pada malam hari,
nyalakan lilin sebagai penerangnya.....”

Hampir setiap saya menunggu angkot di sana, ia juga ada di sana, setia bersama kecrekannya. Jika ia belum muncul, biasanya saya celingukan mencarinya soalnya saya merasa sebenarnya ia bernyanyi untuk menyemangati saya. Hehe... :)

Waktu itu saya harus menghadapi banyak ujian, mulai dari ujian semester (UAS) sampai ujian SPMB (yang kedua). Saya sempat merasa patah semangat, tidak yakin saya bisa melaluinya dan nyaris pasrah bahwa saya tidak bisa lulus SPMB nantinya.
Jadi ya sudah... “nikmati” saja UAS di kampus walaupun dengan setengah hati. Tapi kemudian, setiap malam anak itu bernyanyi untuk saya, perlahan-lahan menyuntikkan energi agar saya terus berjuang (ya..ini hanya ada dalam pikiran saya). Saya bersyukur Allah mengirimkan anak itu.

Akhirnya, Alhamdulillah jadi juga saya hijrah kuliah dan saya merasa harus berterima kasih kepada anak itu. Namun sampai sekarang saya tidak sempat berkenalan dengannya karena setelah saya selesai ujian, ia tidak lagi mengamen di sana. Semoga ia mendapatkan kebahagiaan dan kehidupan yang lebih baik ya.. dan sepertinya sejak saat itu, anak-anak sering sekali menjadi sumber inspirasi bagi saya.

Selanjutnya, mulailah saya ‘disibukkan’ dengan berbagai aktivitas akademik dan non akademik. Saya bergabung dengan KPAR (Kelompok Pencinta Anak & Remaja) dan berharap bisa belajar dan membantu anak-anak dan remaja yang membutuhkan. Itu juga yang menggerakkan saya untuk bergabung dengan PAS-ITB (Pembinaan Anak-anak Salman). Walaupun tentu saja ada motif-motif lainnya :)

Di PAS inilah pertama kalinya saya bersentuhan langsung dengan anak-anak jalanan, di acara Unpad Peduli, acara seminar dan buka puasa bersama. Saya dan beberapa orang teman diminta untuk meng-handle anak-anak sebelum dan sesudah acara buka puasa dimulai. Dan ternyata...perjuangan yang cukup berat. Kami dibuat kelelahan :) Mereka energik sekali, cukup sulit diatur, mau menang sendiri, suka berebutan, dan sebagainya. Tapi saya tahu mereka tidak bermaksud jahat, mereka hanya belum tahu dan belum terbiasa dengan keteraturan.

Selesai sholat Maghrib berjamaah, seorang anak berumur sekitar lima tahun menatap saya dan berkata, “kakak...aku mau baca doa untuk ibu..” Saya hanya mengangguk dan kemudian menyimak doanya dengan mata kaca...

Dik, teruslah berdoa di setiap desahan nafasmu...karena Ia mendengarnya

Mari Berkata-kata (Lagi)

Minggu kemarin saya mengikuti seminar usulan penelitian seorang teman saya, tentang hubungan self-efficacy (keyakinan akan kemampuan diri) dengan engagement membaca literatur ber-Bahasa Inggris. Menarik, tapi juga membingungkan. :)
Seminarnya cukup panjang, membahas banyak hal, terkadang jadi sedikit keluar konteks. Tapi ada hal yang masih terekam jelas di kepala saya, yaitu pertanyaan seorang dosen saya tentang definisi membaca dan berbahasa. Sejenak pikiran saya sempat keluar dari ruangan itu, menjelajah sendiri. :)

Saya teringat dengan pembicaraan dengan seorang sahabat saya, tentang dunia tanpa kata. Kami mendiskusikan hal ini karena ternyata kami sering berbicara tanpa kata-kata, hanya dengan isyarat, tatapan mata, atau bahkan tanpa melakukan perilaku overt apa pun. Kami menyebutnya bahasa kalbu. Hehe...

Lalu, apa jadinya dunia ketika tidak lagi ada kata-kata di dalamnya?

Kata memang diperlukan untuk menyampaikan maksud kita kepada orang lain. Tetapi kalau ternyata maksud itu sudah tersampaikan pada orang lain, berarti kata-kata tidak lagi diperlukan dong? Hmm..mungkin ada yang tidak setuju dan mengatakan bahwa dalam komunikasi diperlukan suatu feedback. Ok..tapi kalau feedback juga bisa diberikan tanpa kata-kata, berarti urusan juga sudah selesai bukan? :)

Ya, memang cukup riskan. Oleh karena itu, perlu ada bumbu tambahannya, yang tanpa bumbu ini bahasa kalbu sulit dilakukan. Bumbunya adalah ta’liful qulb (keterikatan hati), yang artinya juga dibutuhkan adanya rasa saling memahami.

Dengan bahasa kalbu ini, jikalau ada kata-kata yang dikeluarkan insyaAllah akan lebih mudah dipahami. Contohnya, saya baru menyadari ternyata saya cukup sering menamakan sesuatu dengan bahasa saya sendiri. :) Sebagian teman yang memang dekat dengan saya, biasanya sudah terbiasa dan mengerti apa maksud saya, namun bagi yang keterikatannya belum begitu kuat biasanya akan mengernyitkan dahi dan memasang tampang serius. Hehe...Tapi ini bukan berarti saya hidup di dunia lain loh.

Ada beberapa orang sahabat saya yang juga sering mengeluarkan kata-kata ’aneh’, yang pada akhirnya pun kami terbiasa dengan kata-kata yang kami ciptakan.
Saya sempat berpikir, apa saya tidak nasionalis ya? Kan sudah ada bahasa persatuan. Kalau semua punya bahasa sendiri nanti maknanya akan berbeda-beda jadinya. Tapi saya bukannya mau mengaburkan makna sebenarnya dari kata-kata itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa sebenarnya ketika kita berada dalam situasi yang sama dan sedang merasakan hal yang sama, kita akan sangat mudah memahami apa yang dikatakan seseorang.

Tapi ya..terlepas dari semua itu, untuk urusan tulis-menulis tentu sulit jika tidak ada kata-kata karena justru itulah senjata utamanya. Kalau tidak ada kata, lalu apa yang kita tulis? Hehe.. Satu hal yang saya pelajari adalah ternyata kata-kata itu lebih sulit digunakan untuk menulis daripada untuk berbicara. Ah, rasanya berat sekali untuk bisa melahirkan untaian kata-kata, butuh usaha yang tidak mudah. Tapi biasanya karena perjuangan inilah, rasanya nikmat sekali jika telah selesai menulis (Hmm..tapi akan berat lagi ketika akan mulai menulis lagi =D). Mungkin itu maksud dari ”menulis itu berarti mati dan hidup berulang kali”, ya? Saya lupa baca kalimat ini di mana..

********************
Tiba-tiba saya bingung mau berkata-kata apa lagi karena ternyata kata-kata saya di atas jadi panjang ya... =D
Sebenarnya file tulisan ini sudah ada sejak beberapa bulan yang lalu, tapi baru beberapa kalimat. Setelah itu, saya menjadi
'malas’ menulis. Saya kembali tergelitik untuk meneruskannya karena ada yang ’megingatkan’ saya untuk menulis bukan hanya berpikir untuk menulis, hehe...hatur nuhun ya.

Semoga tiap kata yang kita keluarkan bermanfaat ya, atau paling tidak jangan sampai merugikan atau menyakiti orang lain.
Hmm...mari berkata-kata :)

Thursday, February 28, 2008

Mengeja Kata

Sewaktu kecil, saya sangat suka sekali membaca. Sangat. Membaca apa pun. Buku, majalah, koran, buku tugas orang tua saya, spanduk dan iklan di jalanan, bahkan label-label yang ada di berbagai barang. Menyenangkan sekali. Apalagi saat itu keluarga saya berlangganan dua koran (lokal dan nasional), tabloid (untuk ibu saya), dan dua majalah anak (khusus untuk saya). Saya juga masih ingat sewaktu kecil ayah sering mengajak saya ke toko buku di samping pasar tradisional di kota saya sambil menunggu ibu saya berbelanja. Dan itu adalah tempat yang sangat menyenangkan bagi saya, walaupun di seberang toko itu adalah tempat pembuangan sampah, yang tentu saja sering mengeluarkan bau tak sedap.


Tapi kemudian, kesenangan itu seakan terhenti. Saya seolah terlupa dengan semua itu. Saya pernah menyalahkan paman saya dan beberapa orang lainnya yang berpengaruh terhadap terhentinya minat saya untuk membaca. Mereka pernah memarahi saya dan ”melarang” saya untuk membaca (setidaknya seperti itu yang pernah saya pikirkan). Padahal mungkin itu mereka lakukan karena melihat saya sudah berlebihan. Mungkin saja. Karena sangat suka membaca, saya sering tidak peduli di mana pun saya berada dan sedang apa pun saya. Sebisa mungkin saya membawa bacaan saya ke mana pun saya pergi. Saat makan pun, saya tetap membaca. Ya bisa ditebak, saya menghabiskan waktu yang lama untuk sekali makan. Ibu saya sering mengingatkan, tapi tampaknya beliau kemudian memilih untuk membiarkan karena waktu itu saya termasuk anak yang susah makan. Jadi, kalau dengan membaca saya mau makan, itu mungkin lebih baik.


Walaupun demikian, saya tetap punya waktu bermain dengan teman-teman saya. Tapi setelah itu, saya akan kembali asyik dengan dunia saya. Saya ingat ada kejadian memalukan yang sering saya lakukan dulu. Karena ada masalah dengan jemputan sekolah saya, orang tua saya akhirnya memperbolehkan saya untuk berangkat dan pulang sekolah sendiri. Untuk pulang ke ke rumah, saya harus menaiki angkot dari terminal dan sebelumnya saya harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit ke sana. Jika tidak sedang bersama teman-teman, saya akan menggunakan waktu perjalanan itu untuk membaca. Ya, membaca sambil berjalan (semoga tidak ada yang meniru ya). Hasilnya, saya sering sekali menabrak sebuah tiang telepon yang ada di tengah- tengah trotoar. Parahnya, itu tidak menyurutkan niat saya untuk tetap membaca di perjalanan pulang itu (saya selalu tersenyum geli jika melewati tiang itu sekarang).
Seorang guru SD saya sepertinya melihat gejala ‘kecanduan baca’ yang saya alami. Sampai-sampai sewaktu ada tugas Bahasa Indonesia untuk membuat sinopsis buku, saya sering mendapat jatah yang paling banyak dibandingkan teman-teman saya. Saya masih ingat beberapa novel sastra tebal yang saya buat sinopsisnya, di meja makan (tetep loh). Hehe. Ya, saya menikmatinya. Menikmati kecanduan itu.


Namun, semua itu berubah karena tiba-tiba beberapa orang saudara saya mengikuti apa yang saya lakukan. Apalagi ketika keluarga paman saya pindah di dekat rumah saya. Anaknya, yang tentu saja belum punya banyak teman, selalu bermain bersama saya. Penularan pun terjadi. Hasilnya, ia mulai suka membaca saat makan. Ternyata ayahnya tidak menyukai hal itu. Sewaktu tahu siapa yang menularkan pada anaknya (hehe), beliau pun mulai melakukan aksi ”pelarangannya”.
Aksi ini tampaknya berhasil, apalagi setelah itu saya masuk ke SMP favorit yang punya seabrek tugas dan kegiatan. Saya merasa semakin sedikit waktu yang saya punya punya untuk membaca. Lama kelamaan pun semakin menyurut intensitas saya dalam membaca. Saya hanya ’sempat’ membaca majalah-majalah remaja yang ringan, ya sekedar untuk mengisi waktu luang. Saya pun hanya bisa mengagumi teman-teman saya yang suka membaca, mereka hebat ya! Masih sempat membaca banyak buku.


Begitulah, hingga saya masuk SMU. Awalnya, saya cukup sering ke perpustakaan sekolah, tapi itu karena tuntutan tugas sekolah dan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) untuk mencari bahan laporan. Selebihnya, waktu istirahat rasanya lebih menyenangkan dihabiskan di kantin, ^^.


Hingga kemudian, saya kembali teringat dengan nikmatnya membaca ketika saya melakukan sebuah perubahan dalam hidup saya menjelang akhir kelas 3 SMU: memakai jilbab. Perubahan yang membuat saya harus banyak membaca karena banyak sekali hal yang tidak saya ketahui. Rasanya seperti orang linglung, ketika tidak tau harus bergerak ke arah mana. Dengan membaca, setidaknya saya tau bahwa ada banyak arah hidup dengan konsekuensinya masing-masing, yang membantu saya mengambil keputusan arah mana yang sebaiknya saya ikuti.


Dan hingga saat ini, saya berusaha untuk tetap menjaga kenikmatan itu, menjaga semangat untuk mengeja kata demi kata yang tertangkap oleh mata. Kata yang kemudian akan dimaknakan dalam diri. Sulit? Memaknakannya, itu yang kadang terasa sulit. Tetapi, saya tetap ingin belajar, agar tak lagi sulit.


Ya, membaca buku mungkin bukanlah yang sulit karena kita sudah bisa membaca sejak lama. Sejak ibunda guru mengajarkan bagaimana caranya mengeja. Namun, apakah kita mampu membaca apa yang tersirat dari setiap kata itu? Karena dalam setiap kata, insyaAllah akan bisa kita temukan ”makna”nya, asal kita mau berusaha. Bukankah Allah dalam menciptakan sesuatu tidak dalam kesia-siaan?


Semangat!!!


Katanya, "kemampuan menulis itu berbanding lurus dengan ketekunan kita membaca." Jadi ya, banyaklah membaca jika ingin bisa banyak menulis. insyaAllah.. =)

Sebuah Perjalanan

Senin sore. Langit yang mendung menjadi bertambah gelap karena waktu kan berganti menjadi malam. Saya duduk sendiri di sebuah angkot hijau menuju Cileunyi (sebenarnya juga ga sendiri karena ada Pak Supir). Ya, lagi-lagi saya memilih angkot yang kosong karena itu berarti saya bisa duduk di pojok, sebelah kaca besar di belakang angkot, di mana saya bisa melihat langit yang luas. Langit yang selalu saya yakini ikut menasbihkan keagungan-Nya.


Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Begitu juga dengan kaca besar yang dilapisi film sehingga membuat suasana di luar menjadi sedikit buram. Tapi saya masih mendapat kesempatan untuk menikmati indahnya langit sore ini. Mungkin agar saya dapat sedikit melupakan gundah hari ini, agar saya dapat memecahkan teka-teki hikmah yang dipersiapkan hari ini.


Apa yang Ia rencanakan untuk saya hari ini?
Pertanyaan itu serasa menggantung di langit-Nya, seakan meminta saya untuk segera mencari jawabnya.


Saya rasa kepala saya berdenyut ketika saya mengingat berbagai potongan kejadian hari ini.

Hikmah apa yang hendak Ia berikan kepada saya? Teka-teki apa yang saat ini harus saya hadapi?
Kepala saya mulai sakit ketika serombongan siswa SMP menaiki angkot yang saya tumpangi. Tepat di depan saya, seorang remaja SMP itu duduk. Saya menatapnya. Entah mengapa, saya merasa ia mirip dengan saya sekitar sepuluh tahun yang lalu.


Sepuluh tahun yang lalu?
Ah, bukankah saat itu adalah saat saya mulai merenda mimpi, yang insyaAllah bisa terwujud sebentar lagi (Ya, walaupun “sebentar” itu juga relatif ^_^).
Sepuluh tahun yang lalu, ketika saya mulai merangkai mimpi, menetapkan cita-cita saya, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Cita-cita yang mungkin cukup aneh bagi anak seusia saya yang tinggal di sebuah kota kecil. Cita-cita yang membuat saya harus menguatkan hati karena tidak banyak yang mendukung. Mungkin karena banyak yang tidak mengerti apa yang bisa saya lakukan dengan cita-cita itu. Tapi saya tetap bangga dengan cita-cita itu. Walaupun saya sempat nyaris menghentikannya selama hampir satu tahun.
Tapi, saya tetap yakin.. tidak ada yang terjadi secara kebetulan, karena setelah hampir setahun berkelana, mimpi itu kembali saat seorang sahabat berkata, “Pit.. emang ga mau ya mewujudkan cita-cita?” (Thanks, Gung. Kalimat yang tertulis di sobekan kertas kecil itu masih saya ingat sampai sekarang).


Dan semua terasa diatur dengan begitu rapi. Saat saya teringat dengan mimpi itu, di telinga saya terdengar lagu AFI Junior.. “Aku bisa..aku pasti bisa, ku kan terus berusaha....”


Saya tersenyum sambil memandang langit yang nyaris gelap. Mencoba meyakini bahwa apa yang terjadi hari ini bukanlah nasib pecundang ^_^, tapi persiapan yang dilakukan oleh pemenang dengan mundur bebarapa langkah agar lompatan yang dihasilkan akan semakin jauh. InsyaAllah..


Apakah itu bisa menjawab teka-teki hari ini?
Perjalanan sore ini menjadi menyenangkan, hingga tidak terasa saya sudah sampai di Cileunyi, yang berarti saya harus berganti angkot. Dan setelah dari angkot hijau itu, saya langsung mendapati angkot yang menuju Jatinangor.


Satu menit, dua menit, sepuluh menit.. angkot itu belum juga berangkat. Padahal hari sudah semakin malam. Beberapa penumpang mulai tidak sabar dan segera turun kembali. Entah mengapa, saya enggan untuk turun. Saya tetap berada dalam angkot itu, mencoba menikmati pemandangan di pertigaan tempat angkot itu mangkal. Mengamati berbagai “tanda” yang ada di sana, hingga mata saya tertumbuk pada sebuah pemandangan yang membuat saya miris. Anak-anak itu.. Lusuh, kumal, dan mungkin juga bau tanah (dalam arti yang sebenarnya. Bau tanah karena kotoran yang melekat di tubuhnya, seperti Donto, “adik” saya di Pasar Caringin). Mereka berkerumun di suatu tempat, sepertinya bersama keluarga mereka. Entah apa yang dilakukan, mungkin bercengkrama, berbagi cerita. Jarak yang terlalu jauh membuat saya tidak bisa mengamati dengan detail.


Angkot itu masih belum juga berangkat. Penumpang yang baru naik mulai resah. Tampaknya, Pak Supir benar-benar pencari nafkah sejati ^_^. Tapi saya tetap enggan untuk beranjak turun. Biarlah.. (Toh, saya sudah minta izin untuk pulang “sedikit” malam. Hehe.. Ampun, mbak)


Tak lama kemudian, seorang gadis kecil berpenampilan lusuh menghampiri angkot dan mulai bernyanyi di pintu angkot. Saya terhenyak. Apakah pemandangan di depan saya ini masih menjadi bagian dari teka-teki hari ini?


Jujur, saya tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dinyanyikannya, karena di telinga saya juga dengan jelas mengalun harmonisasi nada dari mp4 saya. Tapi, saya kembali teringat dengan apa yang saya lakukan selama satu semester ini. Bukan. Selama beberapa tahun ini tepatnya. Bukankah adik-adik ini yang menjadi inspirasi bagi saya? Mengisi bagian hidup saya.. hingga hari ini.


Tidak ada yang terjadi secara kebetulan.
Saya teringat dengan biskuit yang ada dalam tas saya.
Apakah karenanya saya tidak jadi bertemu dengan adik-adik di Cicaheum sore tadi?
Segera saya ambil satu bungkusan dari tas, dan memberikannya pada gadis kecil itu. Tanpa memberikan kesempatan pada rasio saya, yang selalu melarang untuk memberikan reward kepada adik-adik itu. Kali ini, mungkin naluri saya yang menang. Mungkin, karena hari ini hati saya begitu lelah menerka. Tapi gadis kecil tadi mengingatkan saya tentang tujuan yang ingin saya raih. Lagi-lagi tentang cita-cita.. Terimakasih, adikku.. (gadis kecil itu kemudian bergegas menemui kerumunan tadi, tapi kemudian saya tidak bisa mengamati dengan jelas karena angkot itu mulai bergerak).


Ya, hari ini penuh dengan memori tentang mimpi, tentang cita-cita..
Semoga Allah meridhoi mimpi itu, agar menjadi nyata, agar nyata dengan penuh keberkahan...
Dan perjalanan “panjang” hari ini berakhir dengan pemandangan langit yang indah dengan bulan setengah lingkaran yang ditemani bintang-bintang. Saya sempat menikmatinya sesaat sebelum saya masuk ke dalam rumah yang di dalamnya sudah menunggu saudara-saudara saya (yang katanya sudah mulai kangen dengan saya. Hehe..)


..Cerita di suatu sore..



Comment:

Febi: subhanallah, sangat “terasa” mimpi za. Moga segera twujud ya^_^ wah........“rembulan tenggalam dalam wajah-Mu” versi za nih. hmmm.....setiap harinya ku mencoba menemukan, merangkai, menyusun, menata puzzle yang tengah Allah susun untukku. Subhanallah......besok teka-teki apa yang akan kita pecahkan?
Btw jadi inget langit sore di tol kemaren n langit di jalan mau ke sakura. Langit itu indah. Langit itu menakjubkan......ah.....apalagi yang menciptakannya.
Langit tak pernah biasa, Bintang tak pernah biasa, Keduanya memang titik kecil bila dibandingkan dengan Dia Yang Maha Besar, tapi ada satu hal besar,keduanya ada untuk menjalankan sunnah-Nya,tetap berdzikir menyebut nama-Nya
(hehee..kapan nih mau di posting, dah duluan di kasi comment deh ;b)


Balasan untuk comment:
Hehe.. tulisan yang fresh from the oven ini pun langsung dikasih comment ama Febi. Padahal belum tentu dipublikasikan, bi..
Moga tulisan ini bisa jadi awal untuk kembali bercerita lewat tulisan, setelah sekian lama.. ^_^
Rembulan tenggelam bi? Kurang lengkap, harusnya ditambah sang pemimpi, one minute mother, film The Secret, bahkan bukunya Om Norman VP, dsb. Dan yang paling penting...

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
dan bukankah Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya?

Sunday, February 17, 2008

Guru Tersayang

Juli 2007. Akhirnya selesai juga saya membaca Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata!! Senangnya, soalnya sudah lama mulainya tapi ga beres2 juga. Hehe.. Tampaknya minat saya pada dunia baca-membaca & tulis-menulis lagi terpasung nih (terpasung rasa malas! Hehe..)

Sekarang pun, saya bingung mau mulai nulis dari mana, sepertinya terlalu banyak yang pingin saya ceritakan. Secara saya sudah lama ga pernah nulis. Baiklah, saya akan awali dengan childhood memories, pendidikan, dan setumpuk rasa terima kasih untuk seluruh guru saya..

Bagian awal Laskar Pelangi, saya sudah terharu. Membuat mata saya berkaca. Subhanallah.. saya acungkan seluruh jempol yang ada untuk guru-guru seperti Bu Muslimah & Pak Harfan. Sungguh, merekalah guru yang mampu melahirkan pendidikan dari hati mereka. Guru yang selalu membantu murid-muridnya menyalakan harapan.

Teringat saya pada ibunda tersayang. Dulu sewaktu beliau belum menjadi kepala SD, beliau adalah guru matematika merangkap wali kelas di sebuah SD Negeri di kampung. SD yang cukup minim fasilitas. Bahkan untuk menuju SD itu, ibu saya harus menyeberangi sungai dengan meniti 2 buah bambu yang disejajarkan. Kalau musim hujan dan airnya menderas, beliau harus berjalan memutar melewati jalan raya.

Beliau mengajar di sana sejak pertama kali kami pindah dari sebuah desa bernama Purbolinggo (tempat kelahiran saya & 2 kakak saya) sekitar tahun 1980-an akhir. Saat itu, saya masih kecil (ya iya lah..). Saya sering sekali ikut mengantar beliau pergi mengajar. Juga saat SD itu mengadakan kegiatan, saya hampir selalu ikut serta. Sebenarnya saya ingin bersekolah di sana. Tapi, ibu saya tidak mendaftarkan saya di sana melainkan ke sebuah SD yang cukup favorit di kota kecil tempat kami tinggal. Tapi, tetap saja saya sering sekali ikut serta dalam kegiatan SD itu.

Sampai akhirnya saya duduk di kelas 4, tingkat di mana ibu saya mulai mengajar matematika. Beliau mengadakan les matematika gratis di rumah dan menjadikan saya sebagai salah seorang muridnya. Hmm... atau mungkin sebagai ”asisten” beliau. Jujur, les dengan ibu saya kurang menantang bagi saya karena saat itu saya hampir selalu bisa menjawab pertanyaan dan soal yang diberikan. Bahkan ketika teman-teman saya (murid-murid ibu saya) tidak bisa menjawab, mereka menoleh ke arah saya dan akhirnya kami mengerjakan bersama. Saya juga sering membantu ibu saya memeriksa hasil ujian mereka.

O ya, ibu saya itu dulu adalah guru yang galak. Hehe.. bahkan sampai sekarang, kalau saya dan kakak saya bertemu dengan teman-teman yang dulunya adalah murid beliau, sering mereka bertanya, ”Nyokap lu masih galak ga?” Pertanyaan yang membuat kami selalu tertawa jika mendengarnya. Ibu saya dulu memang guru yang galak, tapi juga yang paling disayang. Buktinya, murid-muridnya selalu memenuhi rumah kami jika waktu les tiba dan juga berkunjung saat lebaran. Bahkan, anak gurunya pun sering diajak main (saya maksudnya, hehe) ^_^

Saya turut menyaksikan saat ibu saya dan murid-muridnya merenda mimpi dan bersama mewujudkannya. Bukankah suatu kebahagiaan yang tak ternilai ketika seorang guru melihat kesuksesan muridnya? Beliau..yang tak pernah lelah mengajari, membimbing, dan menyemangati...

Kini, beliau dipercaya menjadi kepala SD (di SD yang berbeda) lebih dari sekitar tujuh tahun lalu. Usahanya pun tak kalah keras, menjadikan sekolahnya berprestasi, agar makin maju. Tapi sepertinya, beliau tak lagi galak seperti dulu ^_^ Yang kembali membuat saya terharu adalah betapa beliau selalu dicintai. Pernah ketika saya mengantar ibu saya, beberapa muridnya berebutan membukakan gerbang untuk beliau. (Ma, u’r so special..)

Guru, tak hanya membuka mata seseorang untuk melihat dunia tetapi juga membuka hati dan menyalakan harapan di dalamnya. Ilmu yang tak akan pernah habis, bahkan salah satu amal jariyah (yang akan terus mengalir pahalanya walaupun telah meninggal) adalah ilmu yang bermanfaat.

Alhamdulillah.. Allah memberikan anugerah-Nya melalui tangan guru-guru tersayang, yang membantu saya untuk membuka jendela dunia agar cahaya ilmu-Nya selalu menyinari. Terima kasih guru-guruku tersayang, untuk semuanya..


Dear guru-guru di TK Pertiwi (Ibu Tatik, benar kah? Maafkan anakmu yang ternyata sudah lupa bahkan dengan namamu..), SD Pertiwi Teladan (Pak Udin, Wak Nurlela, Pak Susilo, Bu Wardah dan semuanya..), SLTPN 1 (Pak Koes tersayang, Bu Rochima, Bu Resti, Ibu Nurliyati, Bu Erlina, Bu Fat, Bu Pariaman, dan seluruh guru yang insyaAllah selalu saya cinta hingga kini), SMUN 2 (Bu Yuli, Bu Usa, Pak Herman, Bu Astini (Binda-ku sayang, semoga sehat selalu), dan semuanya yang telah mengiringi masa terindah itu), HI Unpad (Pak Reza, kajur-ku (benar kah namanya? Hiks.. kenapa sudah lupa ya?), Pak Wawan & Pak Dadan (yang telah memberikan tes lisan yang “mematikan” itu), dosen Sistem Hukum Indonesia (duh, saya ngaku2 bahwa beliau dosen favorit saya, tapi saya malah lupa namanya) dan semua dosen yang seringkali membuat saya mengernyitkan dahi dan berpikir keras ^_^ Thanks a bunch!), Psiko Unpad (Bu Rintana (hatur nuhun untuk oleh2nya, bu..), Bu SRA (Ibu...kangen bimbingan ^_^), Mbak Ninin, Mbak Titis, Mas Hary, dan semua dosen yang membantu “mengobati” diri saya di sini. Hehe.. Alhamdulillah.. Allah memberikan saya kesempatan untuk berusaha mewujudkan mimpi saya), TK Al-quran (Jl.Sumbawa no.3 Metro, hmm.. itu alamatnya bukan? Sekolah kedua saya sampai kelas 6 SD. Tempat saya belajar bahwa hidup tak hanya dipenuhi dengan ilmu untuk mengenal dunia. Ibu Hanna Khairul Ummah.. kangen, bu. Sudah sering sekali saya mimpi ibu. Ibu apa kabar?).

Dan untuk seluruh guru saya di sekolah kehidupan..terima kasih mengajari saya tentang hidup..


Rabb, lindungilah mereka selalu.. dan berkahilah ilmu kami..

(Masih) Tentang Ukhuwah

Pripun kabare?”

“Tindak pundi?”

“Nuwun sewu”

Saya berusaha untuk menghafalkan kata-kata ini tepat sehari sebelum saya dan teman-teman saya berangkat ke lokasi KKN di Gunungkidul.

Cemas. Itu yang saya rasakan saat itu. Apalagi dua malam sebelum keberangkatan, Mas-mas dari TAC (Tombo Ati Center) PKS memberikan simulasi mengenai bagaimana cara mendekati dan membantu warga yang menjadi korban gempa. Sulit ternyata karena “warga desa” (yang diperankan oleh mereka) adalah warga yang galak dan sulit untuk menerima kedatangan orang baru. Yang terpenting adalah semuanya (kecuali Pak Lurah) berbahasa Jawa, mulai dari bahasa yang lembut (terdengarnya) sampai bahasa “gaulnya” mereka.

Ya, itu memang hanya simulasi. The worst case, kata mereka. Tapi tetap saja saya khawatir karena mungkin saja masyarakat seperti itulah yang akan saya hadapi nanti. Karena pentingnya menguasai bahasa setempat, setelah mendapat beberapa kosa kata dari Mas Fatan (trainer TAC), saya dan teman-teman pun meminta kursus kilat bahasa Jawa kepada Mbak Yani (teman KKN saya yang asli Boyolali) dan dari BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia), ada Mbak Tari dan Mbak Pandu (miss u, mbak2), yah paling tidak untuk bahasa yang sering digunakan sehari-hari.

Kursus kilat dalam waktu sehari? Waa, ternyata tidak begitu hebat perkembangannya. Tetap saja saya merasa kesulitan untuk mengingat-ingat kata apa yang harus saya gunakan jika harus berbicara sesuatu dalam bahasa Jawa. Padahal saya kan besar di Metro, daerah yang cukup banyak orang Jawa di sana (sampai-sampai di pasar pun bahasa yang paling banyak digunakan pun bahasa Jawa), saya juga punya dua orang mbak angkat yang bersuku Jawa, nenek tiri saya pun orang Jawa (hmm..tapi tiga orang terakhir ini tampak sudah sangat terpengaruh dengan Lampung), tapi saya hanya mampu memahami percakapan yang sederhana. Itu pun hanya mengira-ngira maksudnya.

Saya pun menyerah untuk sementara dan berharap masyarakat di daerah yang akan saya tinggali nanti bisa menerima saya dan teman-teman saya (walaupun dengan bahasa Jawa yang payah). Beruntungnya, Mbak Yani sekelompok dengan saya. Artinya saya bisa kursus lagi selama di sana.

27 Juni 2006, saat pertama kalinya saya dan teman-teman menginjakkan kaki di Dukuh Ngasinan, Desa Hargomulyo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Tepat sebulan setelah terjadinya gempa besar di sana.

Memasuki perbatasan dukuh, mobil kami disambut dengan anak-anak berpakaian muslim dan muslimah yang kemudian berlari mengiringi mobil kami sampai kami berhenti di sebuah rumah mungil yang terletak di samping sebuah masjid. Rupanya anak-anak itu adalah santri TPA masjid itu, yang saat itu sedang dibina oleh seorang ustadz relawan dari P2B PKS Jabar (Ustadz Fatih, pripun kabare?).

Di rumah mungil itu, kami diterima oleh sebuah keluarga muda, Pak Arif dan Mbak Sri dengan dua orang jundinya, remaja peduli: Salsa 5 tahun dan mas ganteng: Fauzan 2 tahun (hehe.. tampaknya yang mengerti julukan ini hanya tim MMC Gedangsari). Mereka sangat ramah dan menjamu kami dengan sangat baik. Kami dipersilakan untuk menggunakan sebuah ruangan di rumahnya sebagai kamar untuk akhwat (yang berjumlah lima orang) dan ruang tamunya untuk ikhwan (satu orang) karena ruang di Masjid digunakan untuk relawan P2B.

Hari-hari pertama di sana, saya dan teman-teman gunakan untuk berkenalan dengan masyarakat di sana dan untuk mengetahui kondisi daerah. Subhanallah.. alam di sana teramat indah, ditambah dengan udara yang sejuk. Keindahan ini pun selaras dengan keramahan penduduk setempat. Semua warga yang kami temui selalu menyapa kami dengan senyumannya. Bahkan sebagian mengajak kami berkunjung ke rumahnya. Sejenak saya lupa dengan kekhawatiran saya tentang ketidakmampuan saya berbahasa Jawa. Alhamdulillah.. ternyata sebagian besar warga bisa berbahasa Indonesia walaupun beberapa hanya bisa mengerti apa yang kami ucapkan dan tetap menjawabnya dengan bahasa Jawa. Untuk para sesepuh, biasanya saya paling tidak bisa berkutik karena mereka benar-benar full berbahasa Jawa. Dan akhirnya, saya pun lebih sering menjawab dengan senyuman selain dengan “Nggih”. Hehe..

Pasca gempa, desa ini mengalami berbagai kerusakan. Banyak bangunan yang rusak bahkan hancur, terutama di daerah yang lebih tinggi datarannya. Masyarakat pun masih merasa takut akan terjadinya gempa susulan. Mereka menjadi lebih sensitif dengan getaran dan suara gemuruh.

Walaupun dilanda musibah ini, masyarakat di sana tidak melupakan kewajiban mereka untuk beribadah. Malahan mereka semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Melihat kondisi ini, saya dan teman-teman kelompok KKN saya memutuskan untuk mendekati masyarakat dengan pendekatan agama. Hal ini juga sesuai dengan tujuan dari BSMI (provider kami), yang berfokus pada pendidikan dan agama. Oya, judul kegiatan ini adalah Psychosocial & Education Center.

Saya sangat terharu melihat antusiasnya masyarakat menerima kami. Mereka menganggap kami adalah bagian dari mereka dan berusaha untuk membantu kesulitan-kesulitan kami. Mereka mengundang kami bila mereka mengadakan hajatan. Mereka juga seringkali mengirimi kami makanan hingga persediaan makanan kami sangat berlimpah, mulai dari pisang, kacang-kacangan, sampai buah asam dsb. Sungguh, saya dan teman-teman merasakan kedekatan yang teramat sangat dengan mereka. Padahal siapalah kami, pendatang dari kota yang berdalih akan membantu masyarakat di sana. Tidak ada yang sebelumnya kami kenal. Kami benar-benar “sendiri”, dan harus menjalani kehidupan yang berbeda di sana. Minim fasilitas, angkutan umum sangat jarang sekali, bahkan jaringan GSM ataupun CDMA di sana hanya ada satu (ga boleh sebut merk ya?).

Subhanallah.. Alhamdulillah.. Allahu Akbar..!!

Kami mendapat banyak pertolongan di sana. Saya jadi teringat nasihat yang saya dapatkan dari Ustadz Teten (relawan P2B juga).

Tentang Ukhuwah Islamiyah..

Sebuah ikatan hati atas nama aqidah.

Itulah yang menyatukan dan mengikatkan saya dan teman-teman saya dengan masyarakat di sana. Padahal sebelumnya kami terpisahkan dengan jarak yang sangat jauh, ratusan kilometer (atau mungkin ribuan?). Tapi, tidak dipermasalahkan dari mana asal kami, ketidakmampuan kami berbahasa mereka, gaya kami yang mungkin berbeda dengan mereka, bahkan mungkin sedikitnya ilmu yang kami punya.

Subhanallah.. Tidak pernah kami merasa kekurangan, malah ketenangan yang kami dapatkan di sana.

Masa-masa di sanalah, saya mulai menyadari betapa dahsyatnya kekuatan sebuah ukhuwah. Ukhuwah yang menyebabkan hati-hati di dalamnya akan merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya. Bukankah muslim itu bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya sakit maka yang lainnya ikut berduka cita?

Walaupun sekarang kami kembali terpisahkan oleh jauhnya jarak, semoga ukhuwah itu akan tetap terjaga. Sampai saat ini, pengalaman dua bulan di sana menjadi kenangan terindah bagi saya dan teman-teman saya, yang selalu membuat kami ingin kembali ke sana. Saya pun selalu menanti datangnya kabar dari mereka,

“Mbak Liza apa kabar? Salsa, Fauzan, dan semuanya Alhamdulillah baik”

“Alhamdulillah mbak, TPA-nya lancar. Makin semangat sekarang”

“Mbak kapan ke sini lagi?

“Mbak, mohon doanya semoga saya bisa tegar menjadi relawan lokal ya”

(Oya, saya juga mendapat sms bahagia dari Mas Fatan yang menggenapkan separuh diennya pada awal Januari lalu. Barakallah..)

Semangat terus, saudaraku!! ^_^

Semoga Allah senantiasa melindungi dan merahmati kita semua, dan menjaga agar kita selalu berada di jalan-Nya.

Ukhibbukum fillah..

00:56 am

Siang ini saya dan teman-teman insyaAllah akan silaturahim ke rumah Ustadz Teten (murobbi kami) di Subang (wah..jadi inget nasi liwet buatan pak Ustadz waktu di sana). Dan tadi beliau sms, “kalian jangan ke sini dengan perut penuh. Kita ngaliwet dengan bakar ikan”.

Hmmm.. Nyummy… ^_^

Januari 2007


Kebanggaan

Telepon itu berdering, pagi-pagi sekali. Terdengar suara berat di seberang sana saat kuangkat telepon itu.Ayah..?

“Apa kabar, nak? Tumben ga ada kabar.. “ sapa ayah

Aku terdiam. Bingung.Ga ada kabar? Bukannya tadi malam bunda meneleponku sebelum tidur?

“Alhamdulillah baik, ada apa yah?” aku kemudian segera menjawab, tidak kubahas telepon bunda semalam.

Lalu kami mengobrol, tapi tidak begitu lama karena setelah itu ayah bertanya, “Mau ngobrol dengan bunda? Ini bunda mau ngomong”. Lalu ia serahkan telepon pada bunda.

Lagi-lagi aku bingung karena bukankah tadi malam aku berbincang lama dengan bunda?


Saya tersenyum membaca cerita itu. Teringat dengan sosok ayah saya, yang saat ini sedang menikmati masa pensiunnya. Ya, ayah saya juga sering melakukan hal itu. Tiba-tiba saja menelepon, hanya untuk mengatakan beliau sedang di mana, atau menelepon untuk mengatakan bahwa cucunya sudah bisa memanggilnya, sudah bisa berbicara, atau bahkan hanya sebagai penghubung antara saya dengan ibu saya.

Ayah, kakek yang baik menurut saya. Ia akan bersedia menjadi apa saja untuk cucu-cucunya. Menjadi harimau yang mengaum keras, menjadi penunggang kuda yang handal, menjadi ayam yang berkokok, atau menjadi penyanyi yang terkenal.

Saat fajar datang dan menyibukkan seisi rumah, ia akan menemani cucunya yang paling kecil, bercengkrama dan bermain bersamanya. Entahlah, mungkin bercerita tentang masa mudanya, tentang petualangan serunya atau mungkin bercerita tentang perjuangan Islam (seperti yang dilakukan sidi kepada saya?). Tapi saya yakin, ayah sedang mengajarkan sesuatu pada cucunya itu.

Melihat dan mendengar semua itu, saya menjadi teringat dengan masa kecil saya bersama ayah. Ayah yang selalu mengajarkan saya untuk kuat dan tidak cengeng. Ayah yang tidak ingin melihat saya menjadi anak yang manja. Tapi saat itu, ayah seringkali membuat kesal. Saya ingat sewaktu SMP, walaupun saya sudah terlambat, ayah tidak mau mengantarkan saya sekolah, bahkan saya juga tidak boleh meminta pada kakak-kakak saya. Belakangan, saya sadar bahwa ayah ingin saya menjadi anak yang mandiri dan bertanggungjawab atas perbuatan saya. Baginya, terlambat bukanlah alasan untuk menjadi manja. (Ya, memang salah saya juga sih. Hehe..)

Ayah, yang seringkali menemani saya belajar, tapi seringkali acara belajar itu berakhir dengan perdebatan karena saya dan ayah yang saling mempertahankan pendapat masing-masing. (Hahaha..sepertinya sifat keras saya menurun darinya :p)

Ayah, yang tidak ingin anak-anaknya lari dari masalah, benar-benar tidak mengizinkan saya untuk pindah kostan setelah tahun pertama saya kuliah kemarin. Ayah ingin saya bisa bertahan dan menemukan solusi untuk alasan kepindahan saya itu.

Ayah, yang pernah saya protes karena tidak pernah menunjukkan bahwa beliau bangga dengan saya yang lulus SPMB di HI Unpad, tiba- tiba memperkenalkan saya kepada teman-temannya dan bercerita betapa bangganya beliau dengan saya dan berharap saya mampu menciptakan perdamaian dunia ^_^

Ayah, yang selalu mendukung pilihan saya dan selalu mengingatkan saya agar saya bertanggungjawab atas semua pilihan saya itu. Ayah, yang menyematkan kepercayaannya kepada saya.

Ayah, yang memiliki sejuta bijak, yang selalu mengajarkan saya tentang detail hidup. Yang mengingatkan saya tentang arti sebuah keikhlasan, tentang syukur, dan semua tentang makna kehidupan.

Ayah, yang membuat saya selalu ingin memberikan yang terbaik untuknya, ingin menjadi kebanggaannya seperti saya membanggakannya..


Ayah yang mengajarkan saya tentang arti cinta dan persahabatan.
Persahabatan sepanjang masa dengan sahabatnya sejak kecil membuat saya pun ingin memilikinya..

Pap, betapa ku mencintaimu..

Semoga sehat…semoga bahagia…

Ukhuwah

Suatu hari saya pernah mendapat sms dari seorang teman saya “Pernah merasa ditinggalkan rekan se-amanah? Lalu apa yang kamu lakukan?”

Saya tersenyum waktu membacanya, tapi tidak juga langsung saya balas karena sedang kuliah. Setelah kuliah selesai, di perjalanan pulang, saya teringat dengan sms itu. Lalu saya buka folder write new message dan mulailah saya ketik, “Pernah sih..” tapi tiba-tiba saya menghentikan ketikan itu. Saya jadi merasa aneh sendiri karena sepertinya bukan itu jawaban yang sebenarnya.

Saya kembali berpikir dan mengingat-ingat apakah saya pernah mengalami kejadian itu. Setelah beberapa lama, ternyata jawaban yang berhasil saya temukan adalah “Tidak Pernah”. Saya sempat merasa ragu dengan jawaban itu, tapi semakin saya ingat tidak juga saya temukan jawaban yang lain.

Akhirnya, saya kirimkan jawaban itu kepada teman saya dengan redaksi kira-kira seperti ini, “Alhamdulillah ga pernah. Saya tidak merasa saudara-saudara saya meninggalkan saya karena jika saya merasa lelah dan butuh dukungan saya akan mencari mereka. Dan insyaAllah mereka selalu bersedia membantu saya, bahkan mungkin keberadaan saya di jalan ini pun karena doa mereka”.

Lega. Itu yang saya rasakan ketika jawaban itu telah saya kirimkan. Saya pun takjub dengan apa yang saya pikirkan tadi. Begitu indahnya ukhuwah..

Ukhuwah, yang mampu membuat masalah berat menjadi ringan, yang menghilangkan rasa sakit, rasa lelah, bahkan menyembuhkan luka yang pedih.

Begitu dahsyatnya kekuatan yang diberikan melalui suatu ikatan bernama ukhuwah itu.

Ukhuwah ialah bertautnya hati dan jiwa dengan ikatan Aqidah. Aqidah adalah ikatan paling mahal. Ukhuwah itu saudara iman dan perpecahan itu saudara kufur.

Ada sebuah nasihat yang saya kutip dari Ustadz Rahmat Abdulllah (alm), bahwa bagi kesejatian ukhuwah, berlaku pesan mulia: “Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa im lam yakunu bihi fasayakununa bighoiri” (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia).

Ukhuwah.. nikmat Allah yang tak terhingga.

Dan sangat indah bukan ketika sesama saudara saling mendoakan sebagai bukti cinta? Allah pun akan mengabulkannya dan malaikat pun akan mengamininya, InsyaAllah, seraya berkata: “untukmu pun hak seperti itu”, seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para Nabi dan Syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fillah.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di jalan-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya, dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak akan pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifah-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engku sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Dan semoga shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Muhammad, kepada keluarganya, dan kepada semua sahabatnya.”


Teriring rasa terima kasih kepada Ustadz Rahmat Abdullah, yang telah mengingatkan saya tentang nikmat ukhuwah..

Belajar Menulis

Akhirnya...

Alhamdulillah, blog ini aktif lagi setelah sempat dimuseumkan =)

Moga jadi motivasi baru untuk kembali belajar menulis.


Semangat!!!!

Thursday, February 14, 2008

“Kenapa Saya Berhenti Menulis?”

Kenapa saya berhenti menulis? Pertanyaan yang akhir-akhir ini sering sekali melintas di kepala saya. Namun bukannya mencari apa jawabnya, saya malah ingin sekali mengelak pertanyaan itu, ”ngga juga kok, siapa bilang?” Lucu memang, karena sebenarnya pertanyaan itu awalnya memang muncul dari diri saya sendiri. Jadi seharusnya saya juga tidak perlu terkejut ketika menyadari bahwa hanya ada satu file tulisan saya di bulan kemarin, yang ternyata juga baru satu paragraf pembuka.

Hfff....Bahkan saya pun kesulitan untuk memulai tulisan ini.

Saya memang bukan (baca: belum menjadi) penulis profesional, apalagi terkenal. Saya hanya menulis apa yang saya rasakan, saya pikirkan, saya alami. Terserah saya saja. Tapi, menjadi penulis hebat masuk dalam deretan cita-cita saya waktu kecil karena saya suka menulis. Menulisi dinding, kertas-kertas yang ada di sekitar saya, bahkan di bagian bawah meja makan =)

Suatu sore di awal tahun ini, saya menyadari bahwa saya sedang tidak suka menulis. Saya pun berhenti menulis. Kenapa?

Saya sibuk (hehe, geli rasanya sewaktu mengetik kalimat ini).
Sibuk? Ralat, sok sibuk mungkin. Karena buktinya saya masih bisa melakukan hal-hal lain seperti biasanya, ya mungkin sedikit berubah ketika sedang banyak deadline. Tapi itu tidak mengurangi waktu dua puluh empat jam yang saya punya, bukan? (haha, akui saja kalau malas ya?!)

Mungkin karena memang tidak ada ide untuk ditulis. Bukankah biasa ketika kita tidak menemukan inspirasi yang menjadi sumber tulisan? Jadi, mungkin itu alasannya.
Hmm.. Tapi saya tidak yakin. Setiap harinya seseorang pasti mengalami sesuatu. Sesuatu yang tentu saja bisa diceritakan lewat tulisan. Lagipula tulisan itu tidak harus dipublikasikan kepada orang-orang bukan? Banyak orang yang menulis untuk memberi kepuasan pada dirinya sendiri. Sulitkah menulis kejadian yang dialami sendiri? Saya rasa bukan itu alasannya. Sering sekali banyak hal yang ingin saya ceritakan, terlalu banyak malah. Jadi ide itu pasti tersebar di mana-mana.

Tunggu, terlalu banyak yang ingin diceritakan? Hmm, mungkin saja itu yang menyebabkan saya berhenti menulis karena saya menjadi sulit untuk memilih yang mana yang akan saya tulis.
Ya, bisa saja. Tapi bukankah kita bisa melihatnya dari sisi yang berbeda. Maksud saya, dengan punya banyak hal ingin diceritakan seharusnya bisa membuat seseorang tidak pernah kehabisan ide untuk menulis. ”Ada-ada saja ya!” =p

(”Trus apalagi alasan yang bisa saya berikan ya?”)
Oya, menulis kan bisa jadi sarana katarsis, untuk membantu meredakan stress. Nah, mungkin saja ada sarana katarsis yang lain, jadi menulis tidak lagi diperlukan.
Ok, sekarang saya memang tinggal serumah dengan saudara-saudara saya. Saya punya banyak kesempatan untuk bisa ”membagi” apa yang saya alami seharian. Jadi, mungkin saya sudah cukup lega karena merasa beban saya berkurang setelah bercerita. Tapi, saya jadi berpikir kembali.. apa memang saya menulis hanya sebagai sarana katarsis? Sehingga ketika ada cara lain untuk katarsis, saya merasa tidak perlu lagi menulis? Bukankah menulis itu berbeda dengan berbicara?

Saya jadi teringat dengan satu mata kuliah di semester tujuh kemarin, analisis eksistensial, yang mengharuskan saya dan teman-teman saya menulis berbagai hal mulai dari diary, surat cinta, artikel, dan sebagainya. Dan ternyata, saya sempat terlupa dengan semua itu..bahwa dengan menulis, kita lebih bisa mengenal diri sendiri, kita bisa menemukan solusi dari permasalahan kita. Ah, ternyata lagi-lagi buat diri sendiri ya? ^^; But, it’ ok. Dan itu ”memaksa” saya untuk menyelesaikan tulisan ini, paling tidak untuk saya sendiri. Untuk menghadapi diri saya sendiri.

Hhmm, mungkin saya sudah lama tidak berdialog dengan hati. Mengajak hati untuk memaknakan setiap jengkal kehidupan, menguntai hikmah untuk dibagi pada dunia.

Namaku sunyi
Aku senang berteman sepi
Karena sepi mengajakku bercengkerama dengan hati
Sssttt...
Tidakkah dapat kau dengar desis angin?
Juga gemericik air yang mengalir
Ssstt...
Tidakkah dapat kau dengar bisikan mentari pada dunia?
Juga senandung malam yang menemani setiap mata yang terjaga
Semua yang terdengar
Menelusup ke relung hati
Meyakinkanku bahwa semesta pun menasbihi keagungan-Nya

Berbagai pertanyaan kemudian berkelebat di kepala saya. Apakah saya sudah lupa dengan mimpi saya sewaktu kecil dulu? Apakah saya lupa dengan kenikmatan yang dirasakan setelah menulis? Tidak inginkah saya berbagi hikmah dengan orang lain? Berbagi kebahagiaan dan berbagai rasa dengan orang yang lebih banyak? Agar bisa belajar bersama, agar bisa saling bertukar puisi hikmah.

Mungkin memang ada banyak alasan untuk berhenti menulis, tapi ada banyak alasan juga untuk kembali memulainya. Ya ya ya, sepertinya tidak perlu lagi mencari jawab kenapa saya tidak lagi menulis karena saya harus segera me-reset orientasi saya, menyusunnya agar menjadi lebih bermakna. InsyaAllah saya akan belajar kembali menyusun kata untuk dibagi pada dunia.

Saya teringat dengan nasihat dari seorang ”guru” saya, sehari sebelum peringatan kelahiran saya dua tahun yang lalu.
“Liza mulailah untuk menulis....menulis tidak sama dengan berbicara. Ketika kita berbicara kita bisa dengan mudah mengalirkan kata2 dari mulut (padahal konsekuensinya berat). Tapi, kalau menulis, liza harus menulis apa yang ada di hati. (dan insyaAlloh menulis lebih aman dari berbicara) dan tidak perlu menjadi orang yang perfeksionis. Dalam artian, menulislah apa yang ingin liza tulis, tidak usah khawatir jelek atau tidak karena kepuasan adanya di hati liza, bukan ada di pembaca (walaupun tujuan kita ingin agar pembaca memahami tulisan kita) dan mulai dari yang kecil, sekitar kita, dan konsisten. InsyaaAlloh dengan semangat bisa..Saya juga masih belajar. Dan Islam akan tumbuh dari tulisan.. tulisan itu lebih tajam dari pedang
Yang penting dari hati, dan jujur, nggak usah yang extraordinary..
Keep in spirit ya”


Thanks, bro!

Buat semua, mohon bantuannya yaa..

Dan untuk dua orang saudaraku, ayo semangat untuk AB-3 Project!! n_n