Thursday, February 28, 2008

Mengeja Kata

Sewaktu kecil, saya sangat suka sekali membaca. Sangat. Membaca apa pun. Buku, majalah, koran, buku tugas orang tua saya, spanduk dan iklan di jalanan, bahkan label-label yang ada di berbagai barang. Menyenangkan sekali. Apalagi saat itu keluarga saya berlangganan dua koran (lokal dan nasional), tabloid (untuk ibu saya), dan dua majalah anak (khusus untuk saya). Saya juga masih ingat sewaktu kecil ayah sering mengajak saya ke toko buku di samping pasar tradisional di kota saya sambil menunggu ibu saya berbelanja. Dan itu adalah tempat yang sangat menyenangkan bagi saya, walaupun di seberang toko itu adalah tempat pembuangan sampah, yang tentu saja sering mengeluarkan bau tak sedap.


Tapi kemudian, kesenangan itu seakan terhenti. Saya seolah terlupa dengan semua itu. Saya pernah menyalahkan paman saya dan beberapa orang lainnya yang berpengaruh terhadap terhentinya minat saya untuk membaca. Mereka pernah memarahi saya dan ”melarang” saya untuk membaca (setidaknya seperti itu yang pernah saya pikirkan). Padahal mungkin itu mereka lakukan karena melihat saya sudah berlebihan. Mungkin saja. Karena sangat suka membaca, saya sering tidak peduli di mana pun saya berada dan sedang apa pun saya. Sebisa mungkin saya membawa bacaan saya ke mana pun saya pergi. Saat makan pun, saya tetap membaca. Ya bisa ditebak, saya menghabiskan waktu yang lama untuk sekali makan. Ibu saya sering mengingatkan, tapi tampaknya beliau kemudian memilih untuk membiarkan karena waktu itu saya termasuk anak yang susah makan. Jadi, kalau dengan membaca saya mau makan, itu mungkin lebih baik.


Walaupun demikian, saya tetap punya waktu bermain dengan teman-teman saya. Tapi setelah itu, saya akan kembali asyik dengan dunia saya. Saya ingat ada kejadian memalukan yang sering saya lakukan dulu. Karena ada masalah dengan jemputan sekolah saya, orang tua saya akhirnya memperbolehkan saya untuk berangkat dan pulang sekolah sendiri. Untuk pulang ke ke rumah, saya harus menaiki angkot dari terminal dan sebelumnya saya harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit ke sana. Jika tidak sedang bersama teman-teman, saya akan menggunakan waktu perjalanan itu untuk membaca. Ya, membaca sambil berjalan (semoga tidak ada yang meniru ya). Hasilnya, saya sering sekali menabrak sebuah tiang telepon yang ada di tengah- tengah trotoar. Parahnya, itu tidak menyurutkan niat saya untuk tetap membaca di perjalanan pulang itu (saya selalu tersenyum geli jika melewati tiang itu sekarang).
Seorang guru SD saya sepertinya melihat gejala ‘kecanduan baca’ yang saya alami. Sampai-sampai sewaktu ada tugas Bahasa Indonesia untuk membuat sinopsis buku, saya sering mendapat jatah yang paling banyak dibandingkan teman-teman saya. Saya masih ingat beberapa novel sastra tebal yang saya buat sinopsisnya, di meja makan (tetep loh). Hehe. Ya, saya menikmatinya. Menikmati kecanduan itu.


Namun, semua itu berubah karena tiba-tiba beberapa orang saudara saya mengikuti apa yang saya lakukan. Apalagi ketika keluarga paman saya pindah di dekat rumah saya. Anaknya, yang tentu saja belum punya banyak teman, selalu bermain bersama saya. Penularan pun terjadi. Hasilnya, ia mulai suka membaca saat makan. Ternyata ayahnya tidak menyukai hal itu. Sewaktu tahu siapa yang menularkan pada anaknya (hehe), beliau pun mulai melakukan aksi ”pelarangannya”.
Aksi ini tampaknya berhasil, apalagi setelah itu saya masuk ke SMP favorit yang punya seabrek tugas dan kegiatan. Saya merasa semakin sedikit waktu yang saya punya punya untuk membaca. Lama kelamaan pun semakin menyurut intensitas saya dalam membaca. Saya hanya ’sempat’ membaca majalah-majalah remaja yang ringan, ya sekedar untuk mengisi waktu luang. Saya pun hanya bisa mengagumi teman-teman saya yang suka membaca, mereka hebat ya! Masih sempat membaca banyak buku.


Begitulah, hingga saya masuk SMU. Awalnya, saya cukup sering ke perpustakaan sekolah, tapi itu karena tuntutan tugas sekolah dan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) untuk mencari bahan laporan. Selebihnya, waktu istirahat rasanya lebih menyenangkan dihabiskan di kantin, ^^.


Hingga kemudian, saya kembali teringat dengan nikmatnya membaca ketika saya melakukan sebuah perubahan dalam hidup saya menjelang akhir kelas 3 SMU: memakai jilbab. Perubahan yang membuat saya harus banyak membaca karena banyak sekali hal yang tidak saya ketahui. Rasanya seperti orang linglung, ketika tidak tau harus bergerak ke arah mana. Dengan membaca, setidaknya saya tau bahwa ada banyak arah hidup dengan konsekuensinya masing-masing, yang membantu saya mengambil keputusan arah mana yang sebaiknya saya ikuti.


Dan hingga saat ini, saya berusaha untuk tetap menjaga kenikmatan itu, menjaga semangat untuk mengeja kata demi kata yang tertangkap oleh mata. Kata yang kemudian akan dimaknakan dalam diri. Sulit? Memaknakannya, itu yang kadang terasa sulit. Tetapi, saya tetap ingin belajar, agar tak lagi sulit.


Ya, membaca buku mungkin bukanlah yang sulit karena kita sudah bisa membaca sejak lama. Sejak ibunda guru mengajarkan bagaimana caranya mengeja. Namun, apakah kita mampu membaca apa yang tersirat dari setiap kata itu? Karena dalam setiap kata, insyaAllah akan bisa kita temukan ”makna”nya, asal kita mau berusaha. Bukankah Allah dalam menciptakan sesuatu tidak dalam kesia-siaan?


Semangat!!!


Katanya, "kemampuan menulis itu berbanding lurus dengan ketekunan kita membaca." Jadi ya, banyaklah membaca jika ingin bisa banyak menulis. insyaAllah.. =)

Sebuah Perjalanan

Senin sore. Langit yang mendung menjadi bertambah gelap karena waktu kan berganti menjadi malam. Saya duduk sendiri di sebuah angkot hijau menuju Cileunyi (sebenarnya juga ga sendiri karena ada Pak Supir). Ya, lagi-lagi saya memilih angkot yang kosong karena itu berarti saya bisa duduk di pojok, sebelah kaca besar di belakang angkot, di mana saya bisa melihat langit yang luas. Langit yang selalu saya yakini ikut menasbihkan keagungan-Nya.


Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Begitu juga dengan kaca besar yang dilapisi film sehingga membuat suasana di luar menjadi sedikit buram. Tapi saya masih mendapat kesempatan untuk menikmati indahnya langit sore ini. Mungkin agar saya dapat sedikit melupakan gundah hari ini, agar saya dapat memecahkan teka-teki hikmah yang dipersiapkan hari ini.


Apa yang Ia rencanakan untuk saya hari ini?
Pertanyaan itu serasa menggantung di langit-Nya, seakan meminta saya untuk segera mencari jawabnya.


Saya rasa kepala saya berdenyut ketika saya mengingat berbagai potongan kejadian hari ini.

Hikmah apa yang hendak Ia berikan kepada saya? Teka-teki apa yang saat ini harus saya hadapi?
Kepala saya mulai sakit ketika serombongan siswa SMP menaiki angkot yang saya tumpangi. Tepat di depan saya, seorang remaja SMP itu duduk. Saya menatapnya. Entah mengapa, saya merasa ia mirip dengan saya sekitar sepuluh tahun yang lalu.


Sepuluh tahun yang lalu?
Ah, bukankah saat itu adalah saat saya mulai merenda mimpi, yang insyaAllah bisa terwujud sebentar lagi (Ya, walaupun “sebentar” itu juga relatif ^_^).
Sepuluh tahun yang lalu, ketika saya mulai merangkai mimpi, menetapkan cita-cita saya, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Cita-cita yang mungkin cukup aneh bagi anak seusia saya yang tinggal di sebuah kota kecil. Cita-cita yang membuat saya harus menguatkan hati karena tidak banyak yang mendukung. Mungkin karena banyak yang tidak mengerti apa yang bisa saya lakukan dengan cita-cita itu. Tapi saya tetap bangga dengan cita-cita itu. Walaupun saya sempat nyaris menghentikannya selama hampir satu tahun.
Tapi, saya tetap yakin.. tidak ada yang terjadi secara kebetulan, karena setelah hampir setahun berkelana, mimpi itu kembali saat seorang sahabat berkata, “Pit.. emang ga mau ya mewujudkan cita-cita?” (Thanks, Gung. Kalimat yang tertulis di sobekan kertas kecil itu masih saya ingat sampai sekarang).


Dan semua terasa diatur dengan begitu rapi. Saat saya teringat dengan mimpi itu, di telinga saya terdengar lagu AFI Junior.. “Aku bisa..aku pasti bisa, ku kan terus berusaha....”


Saya tersenyum sambil memandang langit yang nyaris gelap. Mencoba meyakini bahwa apa yang terjadi hari ini bukanlah nasib pecundang ^_^, tapi persiapan yang dilakukan oleh pemenang dengan mundur bebarapa langkah agar lompatan yang dihasilkan akan semakin jauh. InsyaAllah..


Apakah itu bisa menjawab teka-teki hari ini?
Perjalanan sore ini menjadi menyenangkan, hingga tidak terasa saya sudah sampai di Cileunyi, yang berarti saya harus berganti angkot. Dan setelah dari angkot hijau itu, saya langsung mendapati angkot yang menuju Jatinangor.


Satu menit, dua menit, sepuluh menit.. angkot itu belum juga berangkat. Padahal hari sudah semakin malam. Beberapa penumpang mulai tidak sabar dan segera turun kembali. Entah mengapa, saya enggan untuk turun. Saya tetap berada dalam angkot itu, mencoba menikmati pemandangan di pertigaan tempat angkot itu mangkal. Mengamati berbagai “tanda” yang ada di sana, hingga mata saya tertumbuk pada sebuah pemandangan yang membuat saya miris. Anak-anak itu.. Lusuh, kumal, dan mungkin juga bau tanah (dalam arti yang sebenarnya. Bau tanah karena kotoran yang melekat di tubuhnya, seperti Donto, “adik” saya di Pasar Caringin). Mereka berkerumun di suatu tempat, sepertinya bersama keluarga mereka. Entah apa yang dilakukan, mungkin bercengkrama, berbagi cerita. Jarak yang terlalu jauh membuat saya tidak bisa mengamati dengan detail.


Angkot itu masih belum juga berangkat. Penumpang yang baru naik mulai resah. Tampaknya, Pak Supir benar-benar pencari nafkah sejati ^_^. Tapi saya tetap enggan untuk beranjak turun. Biarlah.. (Toh, saya sudah minta izin untuk pulang “sedikit” malam. Hehe.. Ampun, mbak)


Tak lama kemudian, seorang gadis kecil berpenampilan lusuh menghampiri angkot dan mulai bernyanyi di pintu angkot. Saya terhenyak. Apakah pemandangan di depan saya ini masih menjadi bagian dari teka-teki hari ini?


Jujur, saya tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dinyanyikannya, karena di telinga saya juga dengan jelas mengalun harmonisasi nada dari mp4 saya. Tapi, saya kembali teringat dengan apa yang saya lakukan selama satu semester ini. Bukan. Selama beberapa tahun ini tepatnya. Bukankah adik-adik ini yang menjadi inspirasi bagi saya? Mengisi bagian hidup saya.. hingga hari ini.


Tidak ada yang terjadi secara kebetulan.
Saya teringat dengan biskuit yang ada dalam tas saya.
Apakah karenanya saya tidak jadi bertemu dengan adik-adik di Cicaheum sore tadi?
Segera saya ambil satu bungkusan dari tas, dan memberikannya pada gadis kecil itu. Tanpa memberikan kesempatan pada rasio saya, yang selalu melarang untuk memberikan reward kepada adik-adik itu. Kali ini, mungkin naluri saya yang menang. Mungkin, karena hari ini hati saya begitu lelah menerka. Tapi gadis kecil tadi mengingatkan saya tentang tujuan yang ingin saya raih. Lagi-lagi tentang cita-cita.. Terimakasih, adikku.. (gadis kecil itu kemudian bergegas menemui kerumunan tadi, tapi kemudian saya tidak bisa mengamati dengan jelas karena angkot itu mulai bergerak).


Ya, hari ini penuh dengan memori tentang mimpi, tentang cita-cita..
Semoga Allah meridhoi mimpi itu, agar menjadi nyata, agar nyata dengan penuh keberkahan...
Dan perjalanan “panjang” hari ini berakhir dengan pemandangan langit yang indah dengan bulan setengah lingkaran yang ditemani bintang-bintang. Saya sempat menikmatinya sesaat sebelum saya masuk ke dalam rumah yang di dalamnya sudah menunggu saudara-saudara saya (yang katanya sudah mulai kangen dengan saya. Hehe..)


..Cerita di suatu sore..



Comment:

Febi: subhanallah, sangat “terasa” mimpi za. Moga segera twujud ya^_^ wah........“rembulan tenggalam dalam wajah-Mu” versi za nih. hmmm.....setiap harinya ku mencoba menemukan, merangkai, menyusun, menata puzzle yang tengah Allah susun untukku. Subhanallah......besok teka-teki apa yang akan kita pecahkan?
Btw jadi inget langit sore di tol kemaren n langit di jalan mau ke sakura. Langit itu indah. Langit itu menakjubkan......ah.....apalagi yang menciptakannya.
Langit tak pernah biasa, Bintang tak pernah biasa, Keduanya memang titik kecil bila dibandingkan dengan Dia Yang Maha Besar, tapi ada satu hal besar,keduanya ada untuk menjalankan sunnah-Nya,tetap berdzikir menyebut nama-Nya
(hehee..kapan nih mau di posting, dah duluan di kasi comment deh ;b)


Balasan untuk comment:
Hehe.. tulisan yang fresh from the oven ini pun langsung dikasih comment ama Febi. Padahal belum tentu dipublikasikan, bi..
Moga tulisan ini bisa jadi awal untuk kembali bercerita lewat tulisan, setelah sekian lama.. ^_^
Rembulan tenggelam bi? Kurang lengkap, harusnya ditambah sang pemimpi, one minute mother, film The Secret, bahkan bukunya Om Norman VP, dsb. Dan yang paling penting...

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
dan bukankah Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya?

Sunday, February 17, 2008

Guru Tersayang

Juli 2007. Akhirnya selesai juga saya membaca Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata!! Senangnya, soalnya sudah lama mulainya tapi ga beres2 juga. Hehe.. Tampaknya minat saya pada dunia baca-membaca & tulis-menulis lagi terpasung nih (terpasung rasa malas! Hehe..)

Sekarang pun, saya bingung mau mulai nulis dari mana, sepertinya terlalu banyak yang pingin saya ceritakan. Secara saya sudah lama ga pernah nulis. Baiklah, saya akan awali dengan childhood memories, pendidikan, dan setumpuk rasa terima kasih untuk seluruh guru saya..

Bagian awal Laskar Pelangi, saya sudah terharu. Membuat mata saya berkaca. Subhanallah.. saya acungkan seluruh jempol yang ada untuk guru-guru seperti Bu Muslimah & Pak Harfan. Sungguh, merekalah guru yang mampu melahirkan pendidikan dari hati mereka. Guru yang selalu membantu murid-muridnya menyalakan harapan.

Teringat saya pada ibunda tersayang. Dulu sewaktu beliau belum menjadi kepala SD, beliau adalah guru matematika merangkap wali kelas di sebuah SD Negeri di kampung. SD yang cukup minim fasilitas. Bahkan untuk menuju SD itu, ibu saya harus menyeberangi sungai dengan meniti 2 buah bambu yang disejajarkan. Kalau musim hujan dan airnya menderas, beliau harus berjalan memutar melewati jalan raya.

Beliau mengajar di sana sejak pertama kali kami pindah dari sebuah desa bernama Purbolinggo (tempat kelahiran saya & 2 kakak saya) sekitar tahun 1980-an akhir. Saat itu, saya masih kecil (ya iya lah..). Saya sering sekali ikut mengantar beliau pergi mengajar. Juga saat SD itu mengadakan kegiatan, saya hampir selalu ikut serta. Sebenarnya saya ingin bersekolah di sana. Tapi, ibu saya tidak mendaftarkan saya di sana melainkan ke sebuah SD yang cukup favorit di kota kecil tempat kami tinggal. Tapi, tetap saja saya sering sekali ikut serta dalam kegiatan SD itu.

Sampai akhirnya saya duduk di kelas 4, tingkat di mana ibu saya mulai mengajar matematika. Beliau mengadakan les matematika gratis di rumah dan menjadikan saya sebagai salah seorang muridnya. Hmm... atau mungkin sebagai ”asisten” beliau. Jujur, les dengan ibu saya kurang menantang bagi saya karena saat itu saya hampir selalu bisa menjawab pertanyaan dan soal yang diberikan. Bahkan ketika teman-teman saya (murid-murid ibu saya) tidak bisa menjawab, mereka menoleh ke arah saya dan akhirnya kami mengerjakan bersama. Saya juga sering membantu ibu saya memeriksa hasil ujian mereka.

O ya, ibu saya itu dulu adalah guru yang galak. Hehe.. bahkan sampai sekarang, kalau saya dan kakak saya bertemu dengan teman-teman yang dulunya adalah murid beliau, sering mereka bertanya, ”Nyokap lu masih galak ga?” Pertanyaan yang membuat kami selalu tertawa jika mendengarnya. Ibu saya dulu memang guru yang galak, tapi juga yang paling disayang. Buktinya, murid-muridnya selalu memenuhi rumah kami jika waktu les tiba dan juga berkunjung saat lebaran. Bahkan, anak gurunya pun sering diajak main (saya maksudnya, hehe) ^_^

Saya turut menyaksikan saat ibu saya dan murid-muridnya merenda mimpi dan bersama mewujudkannya. Bukankah suatu kebahagiaan yang tak ternilai ketika seorang guru melihat kesuksesan muridnya? Beliau..yang tak pernah lelah mengajari, membimbing, dan menyemangati...

Kini, beliau dipercaya menjadi kepala SD (di SD yang berbeda) lebih dari sekitar tujuh tahun lalu. Usahanya pun tak kalah keras, menjadikan sekolahnya berprestasi, agar makin maju. Tapi sepertinya, beliau tak lagi galak seperti dulu ^_^ Yang kembali membuat saya terharu adalah betapa beliau selalu dicintai. Pernah ketika saya mengantar ibu saya, beberapa muridnya berebutan membukakan gerbang untuk beliau. (Ma, u’r so special..)

Guru, tak hanya membuka mata seseorang untuk melihat dunia tetapi juga membuka hati dan menyalakan harapan di dalamnya. Ilmu yang tak akan pernah habis, bahkan salah satu amal jariyah (yang akan terus mengalir pahalanya walaupun telah meninggal) adalah ilmu yang bermanfaat.

Alhamdulillah.. Allah memberikan anugerah-Nya melalui tangan guru-guru tersayang, yang membantu saya untuk membuka jendela dunia agar cahaya ilmu-Nya selalu menyinari. Terima kasih guru-guruku tersayang, untuk semuanya..


Dear guru-guru di TK Pertiwi (Ibu Tatik, benar kah? Maafkan anakmu yang ternyata sudah lupa bahkan dengan namamu..), SD Pertiwi Teladan (Pak Udin, Wak Nurlela, Pak Susilo, Bu Wardah dan semuanya..), SLTPN 1 (Pak Koes tersayang, Bu Rochima, Bu Resti, Ibu Nurliyati, Bu Erlina, Bu Fat, Bu Pariaman, dan seluruh guru yang insyaAllah selalu saya cinta hingga kini), SMUN 2 (Bu Yuli, Bu Usa, Pak Herman, Bu Astini (Binda-ku sayang, semoga sehat selalu), dan semuanya yang telah mengiringi masa terindah itu), HI Unpad (Pak Reza, kajur-ku (benar kah namanya? Hiks.. kenapa sudah lupa ya?), Pak Wawan & Pak Dadan (yang telah memberikan tes lisan yang “mematikan” itu), dosen Sistem Hukum Indonesia (duh, saya ngaku2 bahwa beliau dosen favorit saya, tapi saya malah lupa namanya) dan semua dosen yang seringkali membuat saya mengernyitkan dahi dan berpikir keras ^_^ Thanks a bunch!), Psiko Unpad (Bu Rintana (hatur nuhun untuk oleh2nya, bu..), Bu SRA (Ibu...kangen bimbingan ^_^), Mbak Ninin, Mbak Titis, Mas Hary, dan semua dosen yang membantu “mengobati” diri saya di sini. Hehe.. Alhamdulillah.. Allah memberikan saya kesempatan untuk berusaha mewujudkan mimpi saya), TK Al-quran (Jl.Sumbawa no.3 Metro, hmm.. itu alamatnya bukan? Sekolah kedua saya sampai kelas 6 SD. Tempat saya belajar bahwa hidup tak hanya dipenuhi dengan ilmu untuk mengenal dunia. Ibu Hanna Khairul Ummah.. kangen, bu. Sudah sering sekali saya mimpi ibu. Ibu apa kabar?).

Dan untuk seluruh guru saya di sekolah kehidupan..terima kasih mengajari saya tentang hidup..


Rabb, lindungilah mereka selalu.. dan berkahilah ilmu kami..

(Masih) Tentang Ukhuwah

Pripun kabare?”

“Tindak pundi?”

“Nuwun sewu”

Saya berusaha untuk menghafalkan kata-kata ini tepat sehari sebelum saya dan teman-teman saya berangkat ke lokasi KKN di Gunungkidul.

Cemas. Itu yang saya rasakan saat itu. Apalagi dua malam sebelum keberangkatan, Mas-mas dari TAC (Tombo Ati Center) PKS memberikan simulasi mengenai bagaimana cara mendekati dan membantu warga yang menjadi korban gempa. Sulit ternyata karena “warga desa” (yang diperankan oleh mereka) adalah warga yang galak dan sulit untuk menerima kedatangan orang baru. Yang terpenting adalah semuanya (kecuali Pak Lurah) berbahasa Jawa, mulai dari bahasa yang lembut (terdengarnya) sampai bahasa “gaulnya” mereka.

Ya, itu memang hanya simulasi. The worst case, kata mereka. Tapi tetap saja saya khawatir karena mungkin saja masyarakat seperti itulah yang akan saya hadapi nanti. Karena pentingnya menguasai bahasa setempat, setelah mendapat beberapa kosa kata dari Mas Fatan (trainer TAC), saya dan teman-teman pun meminta kursus kilat bahasa Jawa kepada Mbak Yani (teman KKN saya yang asli Boyolali) dan dari BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia), ada Mbak Tari dan Mbak Pandu (miss u, mbak2), yah paling tidak untuk bahasa yang sering digunakan sehari-hari.

Kursus kilat dalam waktu sehari? Waa, ternyata tidak begitu hebat perkembangannya. Tetap saja saya merasa kesulitan untuk mengingat-ingat kata apa yang harus saya gunakan jika harus berbicara sesuatu dalam bahasa Jawa. Padahal saya kan besar di Metro, daerah yang cukup banyak orang Jawa di sana (sampai-sampai di pasar pun bahasa yang paling banyak digunakan pun bahasa Jawa), saya juga punya dua orang mbak angkat yang bersuku Jawa, nenek tiri saya pun orang Jawa (hmm..tapi tiga orang terakhir ini tampak sudah sangat terpengaruh dengan Lampung), tapi saya hanya mampu memahami percakapan yang sederhana. Itu pun hanya mengira-ngira maksudnya.

Saya pun menyerah untuk sementara dan berharap masyarakat di daerah yang akan saya tinggali nanti bisa menerima saya dan teman-teman saya (walaupun dengan bahasa Jawa yang payah). Beruntungnya, Mbak Yani sekelompok dengan saya. Artinya saya bisa kursus lagi selama di sana.

27 Juni 2006, saat pertama kalinya saya dan teman-teman menginjakkan kaki di Dukuh Ngasinan, Desa Hargomulyo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Tepat sebulan setelah terjadinya gempa besar di sana.

Memasuki perbatasan dukuh, mobil kami disambut dengan anak-anak berpakaian muslim dan muslimah yang kemudian berlari mengiringi mobil kami sampai kami berhenti di sebuah rumah mungil yang terletak di samping sebuah masjid. Rupanya anak-anak itu adalah santri TPA masjid itu, yang saat itu sedang dibina oleh seorang ustadz relawan dari P2B PKS Jabar (Ustadz Fatih, pripun kabare?).

Di rumah mungil itu, kami diterima oleh sebuah keluarga muda, Pak Arif dan Mbak Sri dengan dua orang jundinya, remaja peduli: Salsa 5 tahun dan mas ganteng: Fauzan 2 tahun (hehe.. tampaknya yang mengerti julukan ini hanya tim MMC Gedangsari). Mereka sangat ramah dan menjamu kami dengan sangat baik. Kami dipersilakan untuk menggunakan sebuah ruangan di rumahnya sebagai kamar untuk akhwat (yang berjumlah lima orang) dan ruang tamunya untuk ikhwan (satu orang) karena ruang di Masjid digunakan untuk relawan P2B.

Hari-hari pertama di sana, saya dan teman-teman gunakan untuk berkenalan dengan masyarakat di sana dan untuk mengetahui kondisi daerah. Subhanallah.. alam di sana teramat indah, ditambah dengan udara yang sejuk. Keindahan ini pun selaras dengan keramahan penduduk setempat. Semua warga yang kami temui selalu menyapa kami dengan senyumannya. Bahkan sebagian mengajak kami berkunjung ke rumahnya. Sejenak saya lupa dengan kekhawatiran saya tentang ketidakmampuan saya berbahasa Jawa. Alhamdulillah.. ternyata sebagian besar warga bisa berbahasa Indonesia walaupun beberapa hanya bisa mengerti apa yang kami ucapkan dan tetap menjawabnya dengan bahasa Jawa. Untuk para sesepuh, biasanya saya paling tidak bisa berkutik karena mereka benar-benar full berbahasa Jawa. Dan akhirnya, saya pun lebih sering menjawab dengan senyuman selain dengan “Nggih”. Hehe..

Pasca gempa, desa ini mengalami berbagai kerusakan. Banyak bangunan yang rusak bahkan hancur, terutama di daerah yang lebih tinggi datarannya. Masyarakat pun masih merasa takut akan terjadinya gempa susulan. Mereka menjadi lebih sensitif dengan getaran dan suara gemuruh.

Walaupun dilanda musibah ini, masyarakat di sana tidak melupakan kewajiban mereka untuk beribadah. Malahan mereka semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Melihat kondisi ini, saya dan teman-teman kelompok KKN saya memutuskan untuk mendekati masyarakat dengan pendekatan agama. Hal ini juga sesuai dengan tujuan dari BSMI (provider kami), yang berfokus pada pendidikan dan agama. Oya, judul kegiatan ini adalah Psychosocial & Education Center.

Saya sangat terharu melihat antusiasnya masyarakat menerima kami. Mereka menganggap kami adalah bagian dari mereka dan berusaha untuk membantu kesulitan-kesulitan kami. Mereka mengundang kami bila mereka mengadakan hajatan. Mereka juga seringkali mengirimi kami makanan hingga persediaan makanan kami sangat berlimpah, mulai dari pisang, kacang-kacangan, sampai buah asam dsb. Sungguh, saya dan teman-teman merasakan kedekatan yang teramat sangat dengan mereka. Padahal siapalah kami, pendatang dari kota yang berdalih akan membantu masyarakat di sana. Tidak ada yang sebelumnya kami kenal. Kami benar-benar “sendiri”, dan harus menjalani kehidupan yang berbeda di sana. Minim fasilitas, angkutan umum sangat jarang sekali, bahkan jaringan GSM ataupun CDMA di sana hanya ada satu (ga boleh sebut merk ya?).

Subhanallah.. Alhamdulillah.. Allahu Akbar..!!

Kami mendapat banyak pertolongan di sana. Saya jadi teringat nasihat yang saya dapatkan dari Ustadz Teten (relawan P2B juga).

Tentang Ukhuwah Islamiyah..

Sebuah ikatan hati atas nama aqidah.

Itulah yang menyatukan dan mengikatkan saya dan teman-teman saya dengan masyarakat di sana. Padahal sebelumnya kami terpisahkan dengan jarak yang sangat jauh, ratusan kilometer (atau mungkin ribuan?). Tapi, tidak dipermasalahkan dari mana asal kami, ketidakmampuan kami berbahasa mereka, gaya kami yang mungkin berbeda dengan mereka, bahkan mungkin sedikitnya ilmu yang kami punya.

Subhanallah.. Tidak pernah kami merasa kekurangan, malah ketenangan yang kami dapatkan di sana.

Masa-masa di sanalah, saya mulai menyadari betapa dahsyatnya kekuatan sebuah ukhuwah. Ukhuwah yang menyebabkan hati-hati di dalamnya akan merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya. Bukankah muslim itu bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya sakit maka yang lainnya ikut berduka cita?

Walaupun sekarang kami kembali terpisahkan oleh jauhnya jarak, semoga ukhuwah itu akan tetap terjaga. Sampai saat ini, pengalaman dua bulan di sana menjadi kenangan terindah bagi saya dan teman-teman saya, yang selalu membuat kami ingin kembali ke sana. Saya pun selalu menanti datangnya kabar dari mereka,

“Mbak Liza apa kabar? Salsa, Fauzan, dan semuanya Alhamdulillah baik”

“Alhamdulillah mbak, TPA-nya lancar. Makin semangat sekarang”

“Mbak kapan ke sini lagi?

“Mbak, mohon doanya semoga saya bisa tegar menjadi relawan lokal ya”

(Oya, saya juga mendapat sms bahagia dari Mas Fatan yang menggenapkan separuh diennya pada awal Januari lalu. Barakallah..)

Semangat terus, saudaraku!! ^_^

Semoga Allah senantiasa melindungi dan merahmati kita semua, dan menjaga agar kita selalu berada di jalan-Nya.

Ukhibbukum fillah..

00:56 am

Siang ini saya dan teman-teman insyaAllah akan silaturahim ke rumah Ustadz Teten (murobbi kami) di Subang (wah..jadi inget nasi liwet buatan pak Ustadz waktu di sana). Dan tadi beliau sms, “kalian jangan ke sini dengan perut penuh. Kita ngaliwet dengan bakar ikan”.

Hmmm.. Nyummy… ^_^

Januari 2007


Kebanggaan

Telepon itu berdering, pagi-pagi sekali. Terdengar suara berat di seberang sana saat kuangkat telepon itu.Ayah..?

“Apa kabar, nak? Tumben ga ada kabar.. “ sapa ayah

Aku terdiam. Bingung.Ga ada kabar? Bukannya tadi malam bunda meneleponku sebelum tidur?

“Alhamdulillah baik, ada apa yah?” aku kemudian segera menjawab, tidak kubahas telepon bunda semalam.

Lalu kami mengobrol, tapi tidak begitu lama karena setelah itu ayah bertanya, “Mau ngobrol dengan bunda? Ini bunda mau ngomong”. Lalu ia serahkan telepon pada bunda.

Lagi-lagi aku bingung karena bukankah tadi malam aku berbincang lama dengan bunda?


Saya tersenyum membaca cerita itu. Teringat dengan sosok ayah saya, yang saat ini sedang menikmati masa pensiunnya. Ya, ayah saya juga sering melakukan hal itu. Tiba-tiba saja menelepon, hanya untuk mengatakan beliau sedang di mana, atau menelepon untuk mengatakan bahwa cucunya sudah bisa memanggilnya, sudah bisa berbicara, atau bahkan hanya sebagai penghubung antara saya dengan ibu saya.

Ayah, kakek yang baik menurut saya. Ia akan bersedia menjadi apa saja untuk cucu-cucunya. Menjadi harimau yang mengaum keras, menjadi penunggang kuda yang handal, menjadi ayam yang berkokok, atau menjadi penyanyi yang terkenal.

Saat fajar datang dan menyibukkan seisi rumah, ia akan menemani cucunya yang paling kecil, bercengkrama dan bermain bersamanya. Entahlah, mungkin bercerita tentang masa mudanya, tentang petualangan serunya atau mungkin bercerita tentang perjuangan Islam (seperti yang dilakukan sidi kepada saya?). Tapi saya yakin, ayah sedang mengajarkan sesuatu pada cucunya itu.

Melihat dan mendengar semua itu, saya menjadi teringat dengan masa kecil saya bersama ayah. Ayah yang selalu mengajarkan saya untuk kuat dan tidak cengeng. Ayah yang tidak ingin melihat saya menjadi anak yang manja. Tapi saat itu, ayah seringkali membuat kesal. Saya ingat sewaktu SMP, walaupun saya sudah terlambat, ayah tidak mau mengantarkan saya sekolah, bahkan saya juga tidak boleh meminta pada kakak-kakak saya. Belakangan, saya sadar bahwa ayah ingin saya menjadi anak yang mandiri dan bertanggungjawab atas perbuatan saya. Baginya, terlambat bukanlah alasan untuk menjadi manja. (Ya, memang salah saya juga sih. Hehe..)

Ayah, yang seringkali menemani saya belajar, tapi seringkali acara belajar itu berakhir dengan perdebatan karena saya dan ayah yang saling mempertahankan pendapat masing-masing. (Hahaha..sepertinya sifat keras saya menurun darinya :p)

Ayah, yang tidak ingin anak-anaknya lari dari masalah, benar-benar tidak mengizinkan saya untuk pindah kostan setelah tahun pertama saya kuliah kemarin. Ayah ingin saya bisa bertahan dan menemukan solusi untuk alasan kepindahan saya itu.

Ayah, yang pernah saya protes karena tidak pernah menunjukkan bahwa beliau bangga dengan saya yang lulus SPMB di HI Unpad, tiba- tiba memperkenalkan saya kepada teman-temannya dan bercerita betapa bangganya beliau dengan saya dan berharap saya mampu menciptakan perdamaian dunia ^_^

Ayah, yang selalu mendukung pilihan saya dan selalu mengingatkan saya agar saya bertanggungjawab atas semua pilihan saya itu. Ayah, yang menyematkan kepercayaannya kepada saya.

Ayah, yang memiliki sejuta bijak, yang selalu mengajarkan saya tentang detail hidup. Yang mengingatkan saya tentang arti sebuah keikhlasan, tentang syukur, dan semua tentang makna kehidupan.

Ayah, yang membuat saya selalu ingin memberikan yang terbaik untuknya, ingin menjadi kebanggaannya seperti saya membanggakannya..


Ayah yang mengajarkan saya tentang arti cinta dan persahabatan.
Persahabatan sepanjang masa dengan sahabatnya sejak kecil membuat saya pun ingin memilikinya..

Pap, betapa ku mencintaimu..

Semoga sehat…semoga bahagia…

Ukhuwah

Suatu hari saya pernah mendapat sms dari seorang teman saya “Pernah merasa ditinggalkan rekan se-amanah? Lalu apa yang kamu lakukan?”

Saya tersenyum waktu membacanya, tapi tidak juga langsung saya balas karena sedang kuliah. Setelah kuliah selesai, di perjalanan pulang, saya teringat dengan sms itu. Lalu saya buka folder write new message dan mulailah saya ketik, “Pernah sih..” tapi tiba-tiba saya menghentikan ketikan itu. Saya jadi merasa aneh sendiri karena sepertinya bukan itu jawaban yang sebenarnya.

Saya kembali berpikir dan mengingat-ingat apakah saya pernah mengalami kejadian itu. Setelah beberapa lama, ternyata jawaban yang berhasil saya temukan adalah “Tidak Pernah”. Saya sempat merasa ragu dengan jawaban itu, tapi semakin saya ingat tidak juga saya temukan jawaban yang lain.

Akhirnya, saya kirimkan jawaban itu kepada teman saya dengan redaksi kira-kira seperti ini, “Alhamdulillah ga pernah. Saya tidak merasa saudara-saudara saya meninggalkan saya karena jika saya merasa lelah dan butuh dukungan saya akan mencari mereka. Dan insyaAllah mereka selalu bersedia membantu saya, bahkan mungkin keberadaan saya di jalan ini pun karena doa mereka”.

Lega. Itu yang saya rasakan ketika jawaban itu telah saya kirimkan. Saya pun takjub dengan apa yang saya pikirkan tadi. Begitu indahnya ukhuwah..

Ukhuwah, yang mampu membuat masalah berat menjadi ringan, yang menghilangkan rasa sakit, rasa lelah, bahkan menyembuhkan luka yang pedih.

Begitu dahsyatnya kekuatan yang diberikan melalui suatu ikatan bernama ukhuwah itu.

Ukhuwah ialah bertautnya hati dan jiwa dengan ikatan Aqidah. Aqidah adalah ikatan paling mahal. Ukhuwah itu saudara iman dan perpecahan itu saudara kufur.

Ada sebuah nasihat yang saya kutip dari Ustadz Rahmat Abdulllah (alm), bahwa bagi kesejatian ukhuwah, berlaku pesan mulia: “Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa im lam yakunu bihi fasayakununa bighoiri” (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia).

Ukhuwah.. nikmat Allah yang tak terhingga.

Dan sangat indah bukan ketika sesama saudara saling mendoakan sebagai bukti cinta? Allah pun akan mengabulkannya dan malaikat pun akan mengamininya, InsyaAllah, seraya berkata: “untukmu pun hak seperti itu”, seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para Nabi dan Syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fillah.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di jalan-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya, dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak akan pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifah-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engku sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Dan semoga shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Muhammad, kepada keluarganya, dan kepada semua sahabatnya.”


Teriring rasa terima kasih kepada Ustadz Rahmat Abdullah, yang telah mengingatkan saya tentang nikmat ukhuwah..

Belajar Menulis

Akhirnya...

Alhamdulillah, blog ini aktif lagi setelah sempat dimuseumkan =)

Moga jadi motivasi baru untuk kembali belajar menulis.


Semangat!!!!

Thursday, February 14, 2008

“Kenapa Saya Berhenti Menulis?”

Kenapa saya berhenti menulis? Pertanyaan yang akhir-akhir ini sering sekali melintas di kepala saya. Namun bukannya mencari apa jawabnya, saya malah ingin sekali mengelak pertanyaan itu, ”ngga juga kok, siapa bilang?” Lucu memang, karena sebenarnya pertanyaan itu awalnya memang muncul dari diri saya sendiri. Jadi seharusnya saya juga tidak perlu terkejut ketika menyadari bahwa hanya ada satu file tulisan saya di bulan kemarin, yang ternyata juga baru satu paragraf pembuka.

Hfff....Bahkan saya pun kesulitan untuk memulai tulisan ini.

Saya memang bukan (baca: belum menjadi) penulis profesional, apalagi terkenal. Saya hanya menulis apa yang saya rasakan, saya pikirkan, saya alami. Terserah saya saja. Tapi, menjadi penulis hebat masuk dalam deretan cita-cita saya waktu kecil karena saya suka menulis. Menulisi dinding, kertas-kertas yang ada di sekitar saya, bahkan di bagian bawah meja makan =)

Suatu sore di awal tahun ini, saya menyadari bahwa saya sedang tidak suka menulis. Saya pun berhenti menulis. Kenapa?

Saya sibuk (hehe, geli rasanya sewaktu mengetik kalimat ini).
Sibuk? Ralat, sok sibuk mungkin. Karena buktinya saya masih bisa melakukan hal-hal lain seperti biasanya, ya mungkin sedikit berubah ketika sedang banyak deadline. Tapi itu tidak mengurangi waktu dua puluh empat jam yang saya punya, bukan? (haha, akui saja kalau malas ya?!)

Mungkin karena memang tidak ada ide untuk ditulis. Bukankah biasa ketika kita tidak menemukan inspirasi yang menjadi sumber tulisan? Jadi, mungkin itu alasannya.
Hmm.. Tapi saya tidak yakin. Setiap harinya seseorang pasti mengalami sesuatu. Sesuatu yang tentu saja bisa diceritakan lewat tulisan. Lagipula tulisan itu tidak harus dipublikasikan kepada orang-orang bukan? Banyak orang yang menulis untuk memberi kepuasan pada dirinya sendiri. Sulitkah menulis kejadian yang dialami sendiri? Saya rasa bukan itu alasannya. Sering sekali banyak hal yang ingin saya ceritakan, terlalu banyak malah. Jadi ide itu pasti tersebar di mana-mana.

Tunggu, terlalu banyak yang ingin diceritakan? Hmm, mungkin saja itu yang menyebabkan saya berhenti menulis karena saya menjadi sulit untuk memilih yang mana yang akan saya tulis.
Ya, bisa saja. Tapi bukankah kita bisa melihatnya dari sisi yang berbeda. Maksud saya, dengan punya banyak hal ingin diceritakan seharusnya bisa membuat seseorang tidak pernah kehabisan ide untuk menulis. ”Ada-ada saja ya!” =p

(”Trus apalagi alasan yang bisa saya berikan ya?”)
Oya, menulis kan bisa jadi sarana katarsis, untuk membantu meredakan stress. Nah, mungkin saja ada sarana katarsis yang lain, jadi menulis tidak lagi diperlukan.
Ok, sekarang saya memang tinggal serumah dengan saudara-saudara saya. Saya punya banyak kesempatan untuk bisa ”membagi” apa yang saya alami seharian. Jadi, mungkin saya sudah cukup lega karena merasa beban saya berkurang setelah bercerita. Tapi, saya jadi berpikir kembali.. apa memang saya menulis hanya sebagai sarana katarsis? Sehingga ketika ada cara lain untuk katarsis, saya merasa tidak perlu lagi menulis? Bukankah menulis itu berbeda dengan berbicara?

Saya jadi teringat dengan satu mata kuliah di semester tujuh kemarin, analisis eksistensial, yang mengharuskan saya dan teman-teman saya menulis berbagai hal mulai dari diary, surat cinta, artikel, dan sebagainya. Dan ternyata, saya sempat terlupa dengan semua itu..bahwa dengan menulis, kita lebih bisa mengenal diri sendiri, kita bisa menemukan solusi dari permasalahan kita. Ah, ternyata lagi-lagi buat diri sendiri ya? ^^; But, it’ ok. Dan itu ”memaksa” saya untuk menyelesaikan tulisan ini, paling tidak untuk saya sendiri. Untuk menghadapi diri saya sendiri.

Hhmm, mungkin saya sudah lama tidak berdialog dengan hati. Mengajak hati untuk memaknakan setiap jengkal kehidupan, menguntai hikmah untuk dibagi pada dunia.

Namaku sunyi
Aku senang berteman sepi
Karena sepi mengajakku bercengkerama dengan hati
Sssttt...
Tidakkah dapat kau dengar desis angin?
Juga gemericik air yang mengalir
Ssstt...
Tidakkah dapat kau dengar bisikan mentari pada dunia?
Juga senandung malam yang menemani setiap mata yang terjaga
Semua yang terdengar
Menelusup ke relung hati
Meyakinkanku bahwa semesta pun menasbihi keagungan-Nya

Berbagai pertanyaan kemudian berkelebat di kepala saya. Apakah saya sudah lupa dengan mimpi saya sewaktu kecil dulu? Apakah saya lupa dengan kenikmatan yang dirasakan setelah menulis? Tidak inginkah saya berbagi hikmah dengan orang lain? Berbagi kebahagiaan dan berbagai rasa dengan orang yang lebih banyak? Agar bisa belajar bersama, agar bisa saling bertukar puisi hikmah.

Mungkin memang ada banyak alasan untuk berhenti menulis, tapi ada banyak alasan juga untuk kembali memulainya. Ya ya ya, sepertinya tidak perlu lagi mencari jawab kenapa saya tidak lagi menulis karena saya harus segera me-reset orientasi saya, menyusunnya agar menjadi lebih bermakna. InsyaAllah saya akan belajar kembali menyusun kata untuk dibagi pada dunia.

Saya teringat dengan nasihat dari seorang ”guru” saya, sehari sebelum peringatan kelahiran saya dua tahun yang lalu.
“Liza mulailah untuk menulis....menulis tidak sama dengan berbicara. Ketika kita berbicara kita bisa dengan mudah mengalirkan kata2 dari mulut (padahal konsekuensinya berat). Tapi, kalau menulis, liza harus menulis apa yang ada di hati. (dan insyaAlloh menulis lebih aman dari berbicara) dan tidak perlu menjadi orang yang perfeksionis. Dalam artian, menulislah apa yang ingin liza tulis, tidak usah khawatir jelek atau tidak karena kepuasan adanya di hati liza, bukan ada di pembaca (walaupun tujuan kita ingin agar pembaca memahami tulisan kita) dan mulai dari yang kecil, sekitar kita, dan konsisten. InsyaaAlloh dengan semangat bisa..Saya juga masih belajar. Dan Islam akan tumbuh dari tulisan.. tulisan itu lebih tajam dari pedang
Yang penting dari hati, dan jujur, nggak usah yang extraordinary..
Keep in spirit ya”


Thanks, bro!

Buat semua, mohon bantuannya yaa..

Dan untuk dua orang saudaraku, ayo semangat untuk AB-3 Project!! n_n