Sunday, June 22, 2008

Negeri Pelangi (1): Antara Jalanan dan Kehidupan


Creek…creek…creek…
Semilir angin berhembus…
Bawa dendangkan lagu...
Mengapa anak jalanan...
Tergantung hidup di jalan...
Creek…creek…creek…


Bagi pelanggan setia angkutan umum, lirik lagu di atas pasti akrab di telinga. Biasanya yang menyanyikan lagu ini adalah anak kecil berpakaian lusuh dengan membawa kecrekan, yang terbuat dari tutup botol minuman yang digepengkan dan dipaku pada sepotong kayu.

Ya, mereka adalah anak-anak yang kita sebut anak jalanan. Anak-anak yang termarjinalkan dari kehidupan masyarakat. Mungkin saat ini banyak yang merasa jumlah mereka semakin banyak, semakin mengganggu ketertiban, keindahan, dan kenyamanan kota. Fenomena anak jalanan ini pun seperti gunung es, yang hanya tampak pada permukaannya.

Kenapa anak-anak itu turun ke jalan? Seperti apa karakternya? Hmm, saya tidak akan menceritakan detailnya di sini karena itu berarti saya harus memindahkan skripsi saya ke sini :P

Apa yang menarik dari anak jalanan? Dengan penampilan yang kumuh dan perilaku yang kasar? Ini adalah apa yang pernah saya pikirkan sewaktu SMU dulu. Saya lebih memandang mereka sebagai anak-anak yang memiliki (atau memilih) hidup yang menyedihkan. Dulu saya hanya memperhatikan mereka di jalan dan sekitar terminal yang selalu saya lewati setiap hari. Di terminal itu juga ada satu ruko yang bernama ‘rumah singgah...’ (saya lupa namanya, kalau tidak salah ‘Ananda’). Saya juga selalu menyempatkan diri untuk membaca perkembangan mereka yang diulas di koran.

Namun, itu semua hanya bersifat simpati, hmm..mungkin lebih tepatnya ketertarikan. Saya tertarik untuk melihat lebih jauh seperti apa kehidupan mereka, apa yang membuat mereka turun ke jalan, apa yang mereka rasakan, lalu bagaimana cara membantu mereka. Hanya itu. Saya tidak bergerak. Terlalu berat rasanya untuk melangkah mendekati mereka. Hhfff...mereka kan tampak menyeramkan. Jadi saya putuskan membantu lewat doa saja hingga suatu waktu saya diberi kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan mereka.

Setelah saya tinggal di Bandung (Jatinangor sebenernya, hehe..), ternyata jumlah anak jalanannya lebih banyak dibandingkan di Lampung (ya iya lah...kan kotanya lebih ‘besar’). Sangat mudah (sekali) menemukan anak jalanan di pinggir-pinggir jalan, terminal, pasar, dan pusat keramaian lainnya.

Dulu saya sempat kesal dengan pemerintah terutama dinas sosial yang memasang peringatan untuk tidak memberi uang kepada anak-anak jalanan tersebut. Anak-anak itu butuh makannya sekarang bukan? Kalau harus menunggu bantuan dari pemerintah kapan mereka makannya? Memangnya sudah pasti akan didistribusikan ke anak-anak itu dana yang masuk ke dinas sosial? Dan masih banyak lagi ‘protes-protes’ yang saya ajukan.

Sedari kecil, orang tua saya selalu mengajarkan untuk memberi, bahkan ayah saya selalu memberi saya sangu sekantung uang receh jika saya akan berpergian. Untuk pengamen dan anak-anak di jalan, katanya. Itulah salah satu hal yang mungkin membuat saya pernah menentang peraturan itu, ditambah lagi ketidakpercayaan saya kepada pemerintah. :)

(Ya..memang setelah mengikuti lika-liku dunia per-psikologi-an, sekarang pendapat saya tentang peringatan ini sudah sangat jauh berbeda)

Pada kuliah semester dua, saya sering pulang malam hari karena harus mengikuti les di Bandung. Karena bus Damri hanya ada sampai pukul enam, jadi saya harus pulang dengan menggunakan angkot. St.Hall – Gedebage, Cicadas – Cibiru, Cibiru (Cicaheum) – Cileunyi, Cileunyi – Jatinangor (Bener ga ya rute angkotnya?). Di Cileunyi, biasanya ada satu orang anak yang mengamen di sana dengan lagu favoritnya...

“......... Mengapa harus takut pada matahari
kepalkan tangan lawan teriknya
Mengapa harus takut pada malam hari,
nyalakan lilin sebagai penerangnya.....”

Hampir setiap saya menunggu angkot di sana, ia juga ada di sana, setia bersama kecrekannya. Jika ia belum muncul, biasanya saya celingukan mencarinya soalnya saya merasa sebenarnya ia bernyanyi untuk menyemangati saya. Hehe... :)

Waktu itu saya harus menghadapi banyak ujian, mulai dari ujian semester (UAS) sampai ujian SPMB (yang kedua). Saya sempat merasa patah semangat, tidak yakin saya bisa melaluinya dan nyaris pasrah bahwa saya tidak bisa lulus SPMB nantinya.
Jadi ya sudah... “nikmati” saja UAS di kampus walaupun dengan setengah hati. Tapi kemudian, setiap malam anak itu bernyanyi untuk saya, perlahan-lahan menyuntikkan energi agar saya terus berjuang (ya..ini hanya ada dalam pikiran saya). Saya bersyukur Allah mengirimkan anak itu.

Akhirnya, Alhamdulillah jadi juga saya hijrah kuliah dan saya merasa harus berterima kasih kepada anak itu. Namun sampai sekarang saya tidak sempat berkenalan dengannya karena setelah saya selesai ujian, ia tidak lagi mengamen di sana. Semoga ia mendapatkan kebahagiaan dan kehidupan yang lebih baik ya.. dan sepertinya sejak saat itu, anak-anak sering sekali menjadi sumber inspirasi bagi saya.

Selanjutnya, mulailah saya ‘disibukkan’ dengan berbagai aktivitas akademik dan non akademik. Saya bergabung dengan KPAR (Kelompok Pencinta Anak & Remaja) dan berharap bisa belajar dan membantu anak-anak dan remaja yang membutuhkan. Itu juga yang menggerakkan saya untuk bergabung dengan PAS-ITB (Pembinaan Anak-anak Salman). Walaupun tentu saja ada motif-motif lainnya :)

Di PAS inilah pertama kalinya saya bersentuhan langsung dengan anak-anak jalanan, di acara Unpad Peduli, acara seminar dan buka puasa bersama. Saya dan beberapa orang teman diminta untuk meng-handle anak-anak sebelum dan sesudah acara buka puasa dimulai. Dan ternyata...perjuangan yang cukup berat. Kami dibuat kelelahan :) Mereka energik sekali, cukup sulit diatur, mau menang sendiri, suka berebutan, dan sebagainya. Tapi saya tahu mereka tidak bermaksud jahat, mereka hanya belum tahu dan belum terbiasa dengan keteraturan.

Selesai sholat Maghrib berjamaah, seorang anak berumur sekitar lima tahun menatap saya dan berkata, “kakak...aku mau baca doa untuk ibu..” Saya hanya mengangguk dan kemudian menyimak doanya dengan mata kaca...

Dik, teruslah berdoa di setiap desahan nafasmu...karena Ia mendengarnya

No comments: