Thursday, February 28, 2008

Mengeja Kata

Sewaktu kecil, saya sangat suka sekali membaca. Sangat. Membaca apa pun. Buku, majalah, koran, buku tugas orang tua saya, spanduk dan iklan di jalanan, bahkan label-label yang ada di berbagai barang. Menyenangkan sekali. Apalagi saat itu keluarga saya berlangganan dua koran (lokal dan nasional), tabloid (untuk ibu saya), dan dua majalah anak (khusus untuk saya). Saya juga masih ingat sewaktu kecil ayah sering mengajak saya ke toko buku di samping pasar tradisional di kota saya sambil menunggu ibu saya berbelanja. Dan itu adalah tempat yang sangat menyenangkan bagi saya, walaupun di seberang toko itu adalah tempat pembuangan sampah, yang tentu saja sering mengeluarkan bau tak sedap.


Tapi kemudian, kesenangan itu seakan terhenti. Saya seolah terlupa dengan semua itu. Saya pernah menyalahkan paman saya dan beberapa orang lainnya yang berpengaruh terhadap terhentinya minat saya untuk membaca. Mereka pernah memarahi saya dan ”melarang” saya untuk membaca (setidaknya seperti itu yang pernah saya pikirkan). Padahal mungkin itu mereka lakukan karena melihat saya sudah berlebihan. Mungkin saja. Karena sangat suka membaca, saya sering tidak peduli di mana pun saya berada dan sedang apa pun saya. Sebisa mungkin saya membawa bacaan saya ke mana pun saya pergi. Saat makan pun, saya tetap membaca. Ya bisa ditebak, saya menghabiskan waktu yang lama untuk sekali makan. Ibu saya sering mengingatkan, tapi tampaknya beliau kemudian memilih untuk membiarkan karena waktu itu saya termasuk anak yang susah makan. Jadi, kalau dengan membaca saya mau makan, itu mungkin lebih baik.


Walaupun demikian, saya tetap punya waktu bermain dengan teman-teman saya. Tapi setelah itu, saya akan kembali asyik dengan dunia saya. Saya ingat ada kejadian memalukan yang sering saya lakukan dulu. Karena ada masalah dengan jemputan sekolah saya, orang tua saya akhirnya memperbolehkan saya untuk berangkat dan pulang sekolah sendiri. Untuk pulang ke ke rumah, saya harus menaiki angkot dari terminal dan sebelumnya saya harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit ke sana. Jika tidak sedang bersama teman-teman, saya akan menggunakan waktu perjalanan itu untuk membaca. Ya, membaca sambil berjalan (semoga tidak ada yang meniru ya). Hasilnya, saya sering sekali menabrak sebuah tiang telepon yang ada di tengah- tengah trotoar. Parahnya, itu tidak menyurutkan niat saya untuk tetap membaca di perjalanan pulang itu (saya selalu tersenyum geli jika melewati tiang itu sekarang).
Seorang guru SD saya sepertinya melihat gejala ‘kecanduan baca’ yang saya alami. Sampai-sampai sewaktu ada tugas Bahasa Indonesia untuk membuat sinopsis buku, saya sering mendapat jatah yang paling banyak dibandingkan teman-teman saya. Saya masih ingat beberapa novel sastra tebal yang saya buat sinopsisnya, di meja makan (tetep loh). Hehe. Ya, saya menikmatinya. Menikmati kecanduan itu.


Namun, semua itu berubah karena tiba-tiba beberapa orang saudara saya mengikuti apa yang saya lakukan. Apalagi ketika keluarga paman saya pindah di dekat rumah saya. Anaknya, yang tentu saja belum punya banyak teman, selalu bermain bersama saya. Penularan pun terjadi. Hasilnya, ia mulai suka membaca saat makan. Ternyata ayahnya tidak menyukai hal itu. Sewaktu tahu siapa yang menularkan pada anaknya (hehe), beliau pun mulai melakukan aksi ”pelarangannya”.
Aksi ini tampaknya berhasil, apalagi setelah itu saya masuk ke SMP favorit yang punya seabrek tugas dan kegiatan. Saya merasa semakin sedikit waktu yang saya punya punya untuk membaca. Lama kelamaan pun semakin menyurut intensitas saya dalam membaca. Saya hanya ’sempat’ membaca majalah-majalah remaja yang ringan, ya sekedar untuk mengisi waktu luang. Saya pun hanya bisa mengagumi teman-teman saya yang suka membaca, mereka hebat ya! Masih sempat membaca banyak buku.


Begitulah, hingga saya masuk SMU. Awalnya, saya cukup sering ke perpustakaan sekolah, tapi itu karena tuntutan tugas sekolah dan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) untuk mencari bahan laporan. Selebihnya, waktu istirahat rasanya lebih menyenangkan dihabiskan di kantin, ^^.


Hingga kemudian, saya kembali teringat dengan nikmatnya membaca ketika saya melakukan sebuah perubahan dalam hidup saya menjelang akhir kelas 3 SMU: memakai jilbab. Perubahan yang membuat saya harus banyak membaca karena banyak sekali hal yang tidak saya ketahui. Rasanya seperti orang linglung, ketika tidak tau harus bergerak ke arah mana. Dengan membaca, setidaknya saya tau bahwa ada banyak arah hidup dengan konsekuensinya masing-masing, yang membantu saya mengambil keputusan arah mana yang sebaiknya saya ikuti.


Dan hingga saat ini, saya berusaha untuk tetap menjaga kenikmatan itu, menjaga semangat untuk mengeja kata demi kata yang tertangkap oleh mata. Kata yang kemudian akan dimaknakan dalam diri. Sulit? Memaknakannya, itu yang kadang terasa sulit. Tetapi, saya tetap ingin belajar, agar tak lagi sulit.


Ya, membaca buku mungkin bukanlah yang sulit karena kita sudah bisa membaca sejak lama. Sejak ibunda guru mengajarkan bagaimana caranya mengeja. Namun, apakah kita mampu membaca apa yang tersirat dari setiap kata itu? Karena dalam setiap kata, insyaAllah akan bisa kita temukan ”makna”nya, asal kita mau berusaha. Bukankah Allah dalam menciptakan sesuatu tidak dalam kesia-siaan?


Semangat!!!


Katanya, "kemampuan menulis itu berbanding lurus dengan ketekunan kita membaca." Jadi ya, banyaklah membaca jika ingin bisa banyak menulis. insyaAllah.. =)

4 comments:

Ona said...

Assalamu'alaykum wr wb.
mamakkoe sayang...
aku publish blogmu di blogku yaa.. :)
ayo saling menyemangati..^^

....WasiL.... said...

ul..
iya gitu membaca berbanding lurus dengan menulis ??
menurut gw ngga..
membaca jelas suatu kegiatan konsumtif, sementara menulis produktif....
memang, akan sulit untuk menulis tanpa banyak membaca, karena tanpa membaca akan sedikit wawasam yang dimiliki..
itu juga dengan catatan tidak hanya membaca buku, tapi gejala...
halah, fenomenologi banget siy gw...

Rizal Affif said...

"tidak hanya membaca buku, tapi gejala..."

Penekanan yang menarik. Jelas ini penyebab utama kenapa sekarang makin banyak bacaan yang kering. Yang kehilangan realitas. Yang terlalu banyak berurusan dengan pikiran dan sama sekali tidak menyentuh hati. Yang terlalu sibuk menggurui dan tidak pernah berefleksi. Yang memberi ikan bukannya kail. Semakin banyak bacaan justru bikin tambah pusing, bukannya memperkaya kehidupan.

Awan Diga Aristo said...

jadi ya...
mari kita menulis, dibanding selalu "berpikir bahwa kita harus menulis" :p