Sunday, February 17, 2008

Kebanggaan

Telepon itu berdering, pagi-pagi sekali. Terdengar suara berat di seberang sana saat kuangkat telepon itu.Ayah..?

“Apa kabar, nak? Tumben ga ada kabar.. “ sapa ayah

Aku terdiam. Bingung.Ga ada kabar? Bukannya tadi malam bunda meneleponku sebelum tidur?

“Alhamdulillah baik, ada apa yah?” aku kemudian segera menjawab, tidak kubahas telepon bunda semalam.

Lalu kami mengobrol, tapi tidak begitu lama karena setelah itu ayah bertanya, “Mau ngobrol dengan bunda? Ini bunda mau ngomong”. Lalu ia serahkan telepon pada bunda.

Lagi-lagi aku bingung karena bukankah tadi malam aku berbincang lama dengan bunda?


Saya tersenyum membaca cerita itu. Teringat dengan sosok ayah saya, yang saat ini sedang menikmati masa pensiunnya. Ya, ayah saya juga sering melakukan hal itu. Tiba-tiba saja menelepon, hanya untuk mengatakan beliau sedang di mana, atau menelepon untuk mengatakan bahwa cucunya sudah bisa memanggilnya, sudah bisa berbicara, atau bahkan hanya sebagai penghubung antara saya dengan ibu saya.

Ayah, kakek yang baik menurut saya. Ia akan bersedia menjadi apa saja untuk cucu-cucunya. Menjadi harimau yang mengaum keras, menjadi penunggang kuda yang handal, menjadi ayam yang berkokok, atau menjadi penyanyi yang terkenal.

Saat fajar datang dan menyibukkan seisi rumah, ia akan menemani cucunya yang paling kecil, bercengkrama dan bermain bersamanya. Entahlah, mungkin bercerita tentang masa mudanya, tentang petualangan serunya atau mungkin bercerita tentang perjuangan Islam (seperti yang dilakukan sidi kepada saya?). Tapi saya yakin, ayah sedang mengajarkan sesuatu pada cucunya itu.

Melihat dan mendengar semua itu, saya menjadi teringat dengan masa kecil saya bersama ayah. Ayah yang selalu mengajarkan saya untuk kuat dan tidak cengeng. Ayah yang tidak ingin melihat saya menjadi anak yang manja. Tapi saat itu, ayah seringkali membuat kesal. Saya ingat sewaktu SMP, walaupun saya sudah terlambat, ayah tidak mau mengantarkan saya sekolah, bahkan saya juga tidak boleh meminta pada kakak-kakak saya. Belakangan, saya sadar bahwa ayah ingin saya menjadi anak yang mandiri dan bertanggungjawab atas perbuatan saya. Baginya, terlambat bukanlah alasan untuk menjadi manja. (Ya, memang salah saya juga sih. Hehe..)

Ayah, yang seringkali menemani saya belajar, tapi seringkali acara belajar itu berakhir dengan perdebatan karena saya dan ayah yang saling mempertahankan pendapat masing-masing. (Hahaha..sepertinya sifat keras saya menurun darinya :p)

Ayah, yang tidak ingin anak-anaknya lari dari masalah, benar-benar tidak mengizinkan saya untuk pindah kostan setelah tahun pertama saya kuliah kemarin. Ayah ingin saya bisa bertahan dan menemukan solusi untuk alasan kepindahan saya itu.

Ayah, yang pernah saya protes karena tidak pernah menunjukkan bahwa beliau bangga dengan saya yang lulus SPMB di HI Unpad, tiba- tiba memperkenalkan saya kepada teman-temannya dan bercerita betapa bangganya beliau dengan saya dan berharap saya mampu menciptakan perdamaian dunia ^_^

Ayah, yang selalu mendukung pilihan saya dan selalu mengingatkan saya agar saya bertanggungjawab atas semua pilihan saya itu. Ayah, yang menyematkan kepercayaannya kepada saya.

Ayah, yang memiliki sejuta bijak, yang selalu mengajarkan saya tentang detail hidup. Yang mengingatkan saya tentang arti sebuah keikhlasan, tentang syukur, dan semua tentang makna kehidupan.

Ayah, yang membuat saya selalu ingin memberikan yang terbaik untuknya, ingin menjadi kebanggaannya seperti saya membanggakannya..


Ayah yang mengajarkan saya tentang arti cinta dan persahabatan.
Persahabatan sepanjang masa dengan sahabatnya sejak kecil membuat saya pun ingin memilikinya..

Pap, betapa ku mencintaimu..

Semoga sehat…semoga bahagia…

No comments: