Monday, June 23, 2008

Negeri Pelangi (2): Hidup itu Perjuangan

Siang itu hujan deras, saat bis yang saya tumpangi memasuki jalan Soekarno Hatta, Bandung. Ada SMS masuk ke Hp saya, dari A’Syarif pekerja sosial di RPA, “Za, ujan gede bgt euy. Besok aja ya sekalian nonton film di RB”. Saya tersenyum, bingung.

Hari itu rencananya saya mau ke rumah belajar binaan sebuah RPA (Rumah Perlindungan Anak) di Pasirkoja. Nah, ada dua orang teman saya (Lieza dan Mimim) yang pingin liat kegiatan rumah belajar itu, dan sekarang mereka juga sedang di perjalanan menuju ke sana. Wah, bisa ngomel2 ntar dua orang itu kalo ga jadi, hehehe. Akhirnya, segera saya hubungi mereka dan mengubah rencana untuk bertemu di perempatan Pasirkoja. Ngobrol dengan anak-anak di jalan aja lah, pikir saya. Apalagi saat itu saya hanya berjarak beberapa ratus meter lagi dari sana.


**********
Setelah saya sampai di perempatan, tempat anak-anak jalanan dan ibunya mangkal, lagi-lagi saya bingung. Kenapa sepi, ya? Ibu-ibu juga pada ga ada, saya menggumam sendiri. Hanya ada satu orang ibu yang sedang membersihkan gerobak jualannya.

“Kok sepi, bu? Anak-anak pada ke mana?”, tanya saya.
“Neng..telpon ke yayasan, neng!!”, ibu itu setengah berteriak menjawab pertanyaan saya.
Oo, emang ada acara apa bu, di yayasan?”
“Bukan, neng!! Anak-anak ditangkep!! Telpon ke yayasan, neng!!”,
ibu itu tambah panik.
“Ha?”

Saya kaget, tapi setelah itu segera saya hubungi seorang pekerja sosial di yayasan RPA itu dan memintanya bicara langsung dengan pihak yayasan. Di sebelah ibu itu yang berbicara dengan suara bergetar, saya terdiam.

Rabb...apa yang ingin Kau tunjukkan siang ini? Saya menarik nafas panjang.

**********
Setelah melapor, saya dan ibu itu menunggu pihak yayasan, yang katanya mau mampir ke perempatan ini sebelum ke Polsek. Ibu itu bercerita bahwa ketika beliau sedang Sholat Dzuhur ternyata di perempatan jalan itu ada razia dari Polsek. Anak-anak yang memang sedang bekerja di jalan itu pun ditangkap petugas termasuk para ibu yang sebagian besar berada di pinggir jalan. Ibu itu diberitahu dua orang anak yang berhasil melarikan diri.

“Ah, padahal mah neng, yang suka bikin ulah itu anak-anak yang udah pada gede. Suka mabok, berantem, kalo ga dikasih duit ngegores mobil. Tapi jadinya, anak-anak yang kecil juga kena tangkep. Untung Iki (anaknya) lagi sekolah, neng, ibu juga lagi sholat..kalo ga, pasti ibu juga ditangkep”, cerita ibu itu mengalir saat saya ngaso di gerobaknya.

“Tapi kalo lagi razia gini, anak-anak yang ga kena razia biasanya dapet uang banyak neng. Iki pernah dapet sampe lima puluh ribu”, ibu itu melanjutkan ceritanya sambil tersenyum bangga.

Saya hanya menatap si ibu, tidak ingin menanggapi. Hff..keras ya hidup mereka, pikir saya. Bahkan kejadian seperti ini malah jadi kesempatan bagus bagi anak yang lain. Tiba-tiba Hp CDMA saya berbunyi, teman saya mengabarkan kalau mereka hampir sampai.

“Handphone-nya banyak ya, neng?”, ibu itu menatap saya kagum. Duh, saya jengah.
Berapaan neng, harganya? Mahal ya?”

(Hff...saya merasa jadi penjahat saat itu. Walaupun banyak orang punya dua, tiga sampai banyak Hp; walaupun biasa aja orang yang punya dua Hp (satu GSM, satu CDMA); walaupun Hp itu insyaAllah halal, walaupun saya punya dua Hp untuk lebih memudahkan komunikasi dengan teman-teman BEM, tapi saya sebenernya lebih pingin si ibu ga tau tentang itu semua. Hehe, saya maksa ya? Padahal pasti Allah punya rencana yang hebat dengan menunjukkan hal ini ya. Mungkin untuk mengingatkan saya bahwa masih banyak orang yang lebih membutuhkan dan juga mengingatkan saya untuk lebih sering bersyukur atas tiap nikmat yang diberikan-Nya)


**********
Air yang menggenang di pinggir jalan sudah naik hingga trotoar, saya pun harus merelakan kaus kaki putih saya menghitam dan basah hingga setengah rok saya. Dua orang pekerja sosial dari yayasan datang dan berbincang sebentar sebelum mereka pergi menuju Polsek Bandung Barat untuk mengurus anak-anak yang ditangkap.

“Kamu teh ngapain di sini, Za?”, tanya mereka heran. Saya nyengir. Ya, soalnya biasanya kalau saya ke perempatan ini ditemani orang dari yayasan.
“Mau ikut ke Polsek ga?”, tanya mereka lagi.
Sejenak saya melirik ke kunci motor yang dipegang salah seorang dari mereka, “Kalian berdua pake satu motor kan?”, saya balik tanya. Dan akhirnya mereka yang gantian nyengir.
Hehe.. Ada-ada aja ya.

“Ini mah udah biasa, Za. Paling ntar sore anak-anak udah bisa pulang, ditahannya itu paling lama tiga jam“, jelas seorang dari mereka.

Saya hanya manggut-manggut mendengarnya. Yah, semoga anak-anak itu baik-baik saja.

**********
Setelah mereka pergi, saya kembali duduk di gerobak si ibu sambil menunggu teman saya yang ternyata belum sampai juga. Lima orang anak menghampiri kami, tiga perempuan, dua laki-laki. Salah satunya adalah Iki, anak ibu itu. Kami mengobrol, membahas kejadian razia hari itu, sampai ketika teman saya datang (ternyata mereka nyasar sekitar setengah jam dunk). Dengan berjingkat, mereka berjalan ke arah gerobak dan bergabung bersama kami. Setelah mengobrol beberapa saat, kami berpamitan pada ibu dan anak-anak di perempatan itu.

**********
Saya dan dua teman saya mampir sebentar ke rumah belajar, yang letaknya tidak begitu jauh dari perempatan, sekalian menunjukkan jalan ke mereka supaya besok-besok ga nyasar lagi. Hehehe.. setelah masuk ke gang tempat rumah belajar itu, seorang teman saya lebih banyak diam.

“Kamu kenapa, Mim?”, tanya saya ketika kami sedang memesan sate Padang di Griya, tak jauh dari sana juga.
“Iya, ternyata beda banget dari bayanganku sebelumnya ya.....bla, bla, bla”, teman saya itu menjawab.
Saya dan teman saya yang lain nyengir, dan berkomentar,
“Berat ya?”, “Aku ga paham”,

Hehehe...berat karena ga paham yang diomongin itu apa soalnya (Ampun, Mim). Setelah lama kami mengobrol di warung itu, kami memiliki kesimpulan yang sama, bahwa hidup anak-anak jalanan itu penuh tantangan, yang membuat mereka lebih dewasa sebelum waktunya. Seharusnya kami lebih banyak bersyukur karena mendapat kesempatan yang lebih baik dari mereka.

Ya, lagi-lagi saya mendapat hikmah dari adik-adik saya di jalan. Selalu seperti itu. Mereka mampu membuat saya makin mencintai mereka.


**********
Menjelang ashar, saya dan teman-teman saya memutuskan untuk pulang. Kami pun berpisah, saya berbeda arah dengan mereka. Di perjalanan pulang, saya mendapat kabar bahwa anak-anak yang ditangkap itu tidak bisa pulang hari ini, mereka ditahan sampai keesokan harinya. Itu pun berhasil setelah yayasan meminta bantuan KPAID.

Saya memberitahu teman saya berita itu,,kami miris. Salah satu balasan dari teman saya: Iya, don’t know what to say..padahal mungkin ini Cuma sebagian kecil pengalaman hidup yang sudah biasa mereka alami. Hari ini penuh pelajaran berharga..

Saya hampir menangis sewaktu membaca SMS dari teman saya itu. Padahal mungkin isinya sangat biasa, tapi bayangan mereka yang berjuang untuk hidup itu membuat semuanya tak lagi biasa.

Ada Donto, anak berumur 5 tahun, dengan helm dan spon busa untuk mengelap mobil atau motor yang lewat. Risma, bocah cantik 8 tahun yang bersuara bagus (Lagu favoritnya “Penganten Anyar” :D). Sri, anak pendiam yang rajin sekolah dan berulangkali meminta saya mengajari bahasa Arab (padahal saya juga ga bisa, hehe). Angga, Nia, Iki, Fahmi, dan anak-anak yang lainnya..


Bayangan mereka berlarian saat polisi datang merazia, ah apa ya yang mereka lakukan malam hari di kantor polisi? Tapi pasti mereka tetap ceria, dasar anak-anak! Pasti mereka tengah bermain, mencari kesenangan di sela-sela kerasnya hidup. Saya tersenyum saat ingat mereka pun lebih sering bermain di jalan daripada bekerja. Ya, selalu ada pelangi di mata mereka. Pelangi yang tidak akan hilang selama mereka berjuang untuk menjalani kehidupan.

Tapi Dik, semoga segera kau temukan cara yang lebih baik untuk memetik pelangi itu...

DAMRI, di suatu sore yang basah

2 comments:

pria_hujan_menanti_pelangi said...

pelangi bukanlah hal yang seindah itu
ia indah karena merupakan hadiah buat yang sudah merasakan gelapnya mendung dan dinginnya hujan

akan lebih baik jika lebih banyak yang bergerak
bukan sekedar engkau, bukan sekedar yayasan
tidakkah miris hanya dengan membicarakannya ketika makan sate bersama rekanmu dibawah teduh

kenapa tercetak hanya hingga wacana?
kenapa tidak teriak pada dunia?

tiffatora said...

assalamualaikum, blogwalking, kawan.

seneng bgt baca tulisan kamu. semangat terus ya..