Sunday, February 17, 2008

(Masih) Tentang Ukhuwah

Pripun kabare?”

“Tindak pundi?”

“Nuwun sewu”

Saya berusaha untuk menghafalkan kata-kata ini tepat sehari sebelum saya dan teman-teman saya berangkat ke lokasi KKN di Gunungkidul.

Cemas. Itu yang saya rasakan saat itu. Apalagi dua malam sebelum keberangkatan, Mas-mas dari TAC (Tombo Ati Center) PKS memberikan simulasi mengenai bagaimana cara mendekati dan membantu warga yang menjadi korban gempa. Sulit ternyata karena “warga desa” (yang diperankan oleh mereka) adalah warga yang galak dan sulit untuk menerima kedatangan orang baru. Yang terpenting adalah semuanya (kecuali Pak Lurah) berbahasa Jawa, mulai dari bahasa yang lembut (terdengarnya) sampai bahasa “gaulnya” mereka.

Ya, itu memang hanya simulasi. The worst case, kata mereka. Tapi tetap saja saya khawatir karena mungkin saja masyarakat seperti itulah yang akan saya hadapi nanti. Karena pentingnya menguasai bahasa setempat, setelah mendapat beberapa kosa kata dari Mas Fatan (trainer TAC), saya dan teman-teman pun meminta kursus kilat bahasa Jawa kepada Mbak Yani (teman KKN saya yang asli Boyolali) dan dari BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia), ada Mbak Tari dan Mbak Pandu (miss u, mbak2), yah paling tidak untuk bahasa yang sering digunakan sehari-hari.

Kursus kilat dalam waktu sehari? Waa, ternyata tidak begitu hebat perkembangannya. Tetap saja saya merasa kesulitan untuk mengingat-ingat kata apa yang harus saya gunakan jika harus berbicara sesuatu dalam bahasa Jawa. Padahal saya kan besar di Metro, daerah yang cukup banyak orang Jawa di sana (sampai-sampai di pasar pun bahasa yang paling banyak digunakan pun bahasa Jawa), saya juga punya dua orang mbak angkat yang bersuku Jawa, nenek tiri saya pun orang Jawa (hmm..tapi tiga orang terakhir ini tampak sudah sangat terpengaruh dengan Lampung), tapi saya hanya mampu memahami percakapan yang sederhana. Itu pun hanya mengira-ngira maksudnya.

Saya pun menyerah untuk sementara dan berharap masyarakat di daerah yang akan saya tinggali nanti bisa menerima saya dan teman-teman saya (walaupun dengan bahasa Jawa yang payah). Beruntungnya, Mbak Yani sekelompok dengan saya. Artinya saya bisa kursus lagi selama di sana.

27 Juni 2006, saat pertama kalinya saya dan teman-teman menginjakkan kaki di Dukuh Ngasinan, Desa Hargomulyo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Tepat sebulan setelah terjadinya gempa besar di sana.

Memasuki perbatasan dukuh, mobil kami disambut dengan anak-anak berpakaian muslim dan muslimah yang kemudian berlari mengiringi mobil kami sampai kami berhenti di sebuah rumah mungil yang terletak di samping sebuah masjid. Rupanya anak-anak itu adalah santri TPA masjid itu, yang saat itu sedang dibina oleh seorang ustadz relawan dari P2B PKS Jabar (Ustadz Fatih, pripun kabare?).

Di rumah mungil itu, kami diterima oleh sebuah keluarga muda, Pak Arif dan Mbak Sri dengan dua orang jundinya, remaja peduli: Salsa 5 tahun dan mas ganteng: Fauzan 2 tahun (hehe.. tampaknya yang mengerti julukan ini hanya tim MMC Gedangsari). Mereka sangat ramah dan menjamu kami dengan sangat baik. Kami dipersilakan untuk menggunakan sebuah ruangan di rumahnya sebagai kamar untuk akhwat (yang berjumlah lima orang) dan ruang tamunya untuk ikhwan (satu orang) karena ruang di Masjid digunakan untuk relawan P2B.

Hari-hari pertama di sana, saya dan teman-teman gunakan untuk berkenalan dengan masyarakat di sana dan untuk mengetahui kondisi daerah. Subhanallah.. alam di sana teramat indah, ditambah dengan udara yang sejuk. Keindahan ini pun selaras dengan keramahan penduduk setempat. Semua warga yang kami temui selalu menyapa kami dengan senyumannya. Bahkan sebagian mengajak kami berkunjung ke rumahnya. Sejenak saya lupa dengan kekhawatiran saya tentang ketidakmampuan saya berbahasa Jawa. Alhamdulillah.. ternyata sebagian besar warga bisa berbahasa Indonesia walaupun beberapa hanya bisa mengerti apa yang kami ucapkan dan tetap menjawabnya dengan bahasa Jawa. Untuk para sesepuh, biasanya saya paling tidak bisa berkutik karena mereka benar-benar full berbahasa Jawa. Dan akhirnya, saya pun lebih sering menjawab dengan senyuman selain dengan “Nggih”. Hehe..

Pasca gempa, desa ini mengalami berbagai kerusakan. Banyak bangunan yang rusak bahkan hancur, terutama di daerah yang lebih tinggi datarannya. Masyarakat pun masih merasa takut akan terjadinya gempa susulan. Mereka menjadi lebih sensitif dengan getaran dan suara gemuruh.

Walaupun dilanda musibah ini, masyarakat di sana tidak melupakan kewajiban mereka untuk beribadah. Malahan mereka semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Melihat kondisi ini, saya dan teman-teman kelompok KKN saya memutuskan untuk mendekati masyarakat dengan pendekatan agama. Hal ini juga sesuai dengan tujuan dari BSMI (provider kami), yang berfokus pada pendidikan dan agama. Oya, judul kegiatan ini adalah Psychosocial & Education Center.

Saya sangat terharu melihat antusiasnya masyarakat menerima kami. Mereka menganggap kami adalah bagian dari mereka dan berusaha untuk membantu kesulitan-kesulitan kami. Mereka mengundang kami bila mereka mengadakan hajatan. Mereka juga seringkali mengirimi kami makanan hingga persediaan makanan kami sangat berlimpah, mulai dari pisang, kacang-kacangan, sampai buah asam dsb. Sungguh, saya dan teman-teman merasakan kedekatan yang teramat sangat dengan mereka. Padahal siapalah kami, pendatang dari kota yang berdalih akan membantu masyarakat di sana. Tidak ada yang sebelumnya kami kenal. Kami benar-benar “sendiri”, dan harus menjalani kehidupan yang berbeda di sana. Minim fasilitas, angkutan umum sangat jarang sekali, bahkan jaringan GSM ataupun CDMA di sana hanya ada satu (ga boleh sebut merk ya?).

Subhanallah.. Alhamdulillah.. Allahu Akbar..!!

Kami mendapat banyak pertolongan di sana. Saya jadi teringat nasihat yang saya dapatkan dari Ustadz Teten (relawan P2B juga).

Tentang Ukhuwah Islamiyah..

Sebuah ikatan hati atas nama aqidah.

Itulah yang menyatukan dan mengikatkan saya dan teman-teman saya dengan masyarakat di sana. Padahal sebelumnya kami terpisahkan dengan jarak yang sangat jauh, ratusan kilometer (atau mungkin ribuan?). Tapi, tidak dipermasalahkan dari mana asal kami, ketidakmampuan kami berbahasa mereka, gaya kami yang mungkin berbeda dengan mereka, bahkan mungkin sedikitnya ilmu yang kami punya.

Subhanallah.. Tidak pernah kami merasa kekurangan, malah ketenangan yang kami dapatkan di sana.

Masa-masa di sanalah, saya mulai menyadari betapa dahsyatnya kekuatan sebuah ukhuwah. Ukhuwah yang menyebabkan hati-hati di dalamnya akan merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya. Bukankah muslim itu bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya sakit maka yang lainnya ikut berduka cita?

Walaupun sekarang kami kembali terpisahkan oleh jauhnya jarak, semoga ukhuwah itu akan tetap terjaga. Sampai saat ini, pengalaman dua bulan di sana menjadi kenangan terindah bagi saya dan teman-teman saya, yang selalu membuat kami ingin kembali ke sana. Saya pun selalu menanti datangnya kabar dari mereka,

“Mbak Liza apa kabar? Salsa, Fauzan, dan semuanya Alhamdulillah baik”

“Alhamdulillah mbak, TPA-nya lancar. Makin semangat sekarang”

“Mbak kapan ke sini lagi?

“Mbak, mohon doanya semoga saya bisa tegar menjadi relawan lokal ya”

(Oya, saya juga mendapat sms bahagia dari Mas Fatan yang menggenapkan separuh diennya pada awal Januari lalu. Barakallah..)

Semangat terus, saudaraku!! ^_^

Semoga Allah senantiasa melindungi dan merahmati kita semua, dan menjaga agar kita selalu berada di jalan-Nya.

Ukhibbukum fillah..

00:56 am

Siang ini saya dan teman-teman insyaAllah akan silaturahim ke rumah Ustadz Teten (murobbi kami) di Subang (wah..jadi inget nasi liwet buatan pak Ustadz waktu di sana). Dan tadi beliau sms, “kalian jangan ke sini dengan perut penuh. Kita ngaliwet dengan bakar ikan”.

Hmmm.. Nyummy… ^_^

Januari 2007


No comments: