Minggu kemarin saya mengikuti seminar usulan penelitian seorang teman saya, tentang hubungan self-efficacy (keyakinan akan kemampuan diri) dengan engagement membaca literatur ber-Bahasa Inggris. Menarik, tapi juga membingungkan. :)
Seminarnya cukup panjang, membahas banyak hal, terkadang jadi sedikit keluar konteks. Tapi ada hal yang masih terekam jelas di kepala saya, yaitu pertanyaan seorang dosen saya tentang definisi membaca dan berbahasa. Sejenak pikiran saya sempat keluar dari ruangan itu, menjelajah sendiri. :)
Saya teringat dengan pembicaraan dengan seorang sahabat saya, tentang dunia tanpa kata. Kami mendiskusikan hal ini karena ternyata kami sering berbicara tanpa kata-kata, hanya dengan isyarat, tatapan mata, atau bahkan tanpa melakukan perilaku overt apa pun. Kami menyebutnya bahasa kalbu. Hehe...
Lalu, apa jadinya dunia ketika tidak lagi ada kata-kata di dalamnya?
Kata memang diperlukan untuk menyampaikan maksud kita kepada orang lain. Tetapi kalau ternyata maksud itu sudah tersampaikan pada orang lain, berarti kata-kata tidak lagi diperlukan dong? Hmm..mungkin ada yang tidak setuju dan mengatakan bahwa dalam komunikasi diperlukan suatu feedback. Ok..tapi kalau feedback juga bisa diberikan tanpa kata-kata, berarti urusan juga sudah selesai bukan? :)
Seminarnya cukup panjang, membahas banyak hal, terkadang jadi sedikit keluar konteks. Tapi ada hal yang masih terekam jelas di kepala saya, yaitu pertanyaan seorang dosen saya tentang definisi membaca dan berbahasa. Sejenak pikiran saya sempat keluar dari ruangan itu, menjelajah sendiri. :)
Saya teringat dengan pembicaraan dengan seorang sahabat saya, tentang dunia tanpa kata. Kami mendiskusikan hal ini karena ternyata kami sering berbicara tanpa kata-kata, hanya dengan isyarat, tatapan mata, atau bahkan tanpa melakukan perilaku overt apa pun. Kami menyebutnya bahasa kalbu. Hehe...
Lalu, apa jadinya dunia ketika tidak lagi ada kata-kata di dalamnya?
Kata memang diperlukan untuk menyampaikan maksud kita kepada orang lain. Tetapi kalau ternyata maksud itu sudah tersampaikan pada orang lain, berarti kata-kata tidak lagi diperlukan dong? Hmm..mungkin ada yang tidak setuju dan mengatakan bahwa dalam komunikasi diperlukan suatu feedback. Ok..tapi kalau feedback juga bisa diberikan tanpa kata-kata, berarti urusan juga sudah selesai bukan? :)
Ya, memang cukup riskan. Oleh karena itu, perlu ada bumbu tambahannya, yang tanpa bumbu ini bahasa kalbu sulit dilakukan. Bumbunya adalah ta’liful qulb (keterikatan hati), yang artinya juga dibutuhkan adanya rasa saling memahami.
Dengan bahasa kalbu ini, jikalau ada kata-kata yang dikeluarkan insyaAllah akan lebih mudah dipahami. Contohnya, saya baru menyadari ternyata saya cukup sering menamakan sesuatu dengan bahasa saya sendiri. :) Sebagian teman yang memang dekat dengan saya, biasanya sudah terbiasa dan mengerti apa maksud saya, namun bagi yang keterikatannya belum begitu kuat biasanya akan mengernyitkan dahi dan memasang tampang serius. Hehe...Tapi ini bukan berarti saya hidup di dunia lain loh.
Ada beberapa orang sahabat saya yang juga sering mengeluarkan kata-kata ’aneh’, yang pada akhirnya pun kami terbiasa dengan kata-kata yang kami ciptakan.
Saya sempat berpikir, apa saya tidak nasionalis ya? Kan sudah ada bahasa persatuan. Kalau semua punya bahasa sendiri nanti maknanya akan berbeda-beda jadinya. Tapi saya bukannya mau mengaburkan makna sebenarnya dari kata-kata itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa sebenarnya ketika kita berada dalam situasi yang sama dan sedang merasakan hal yang sama, kita akan sangat mudah memahami apa yang dikatakan seseorang.
Tapi ya..terlepas dari semua itu, untuk urusan tulis-menulis tentu sulit jika tidak ada kata-kata karena justru itulah senjata utamanya. Kalau tidak ada kata, lalu apa yang kita tulis? Hehe.. Satu hal yang saya pelajari adalah ternyata kata-kata itu lebih sulit digunakan untuk menulis daripada untuk berbicara. Ah, rasanya berat sekali untuk bisa melahirkan untaian kata-kata, butuh usaha yang tidak mudah. Tapi biasanya karena perjuangan inilah, rasanya nikmat sekali jika telah selesai menulis (Hmm..tapi akan berat lagi ketika akan mulai menulis lagi =D). Mungkin itu maksud dari ”menulis itu berarti mati dan hidup berulang kali”, ya? Saya lupa baca kalimat ini di mana..
********************
Tiba-tiba saya bingung mau berkata-kata apa lagi karena ternyata kata-kata saya di atas jadi panjang ya... =D
Sebenarnya file tulisan ini sudah ada sejak beberapa bulan yang lalu, tapi baru beberapa kalimat. Setelah itu, saya menjadi 'malas’ menulis. Saya kembali tergelitik untuk meneruskannya karena ada yang ’megingatkan’ saya untuk menulis bukan hanya berpikir untuk menulis, hehe...hatur nuhun ya.
Semoga tiap kata yang kita keluarkan bermanfaat ya, atau paling tidak jangan sampai merugikan atau menyakiti orang lain.
Hmm...mari berkata-kata :)
1 comment:
pernh dengar soal sinkronisasi panjang gelombang? bahasa kampung saya mah "wave-length sync". kl sempat cari aja di internet. mgkin ini lbih bisa me-logis-kan "bahasa kalbu" anda. bahasa dewanya itu penyelarasan aura.percaya aura?
IMO, dunia tanpa kata itu rasanya tak mungkin terwujud. karena pada saat kata-kata (yang dikau maksud adalah berbahasa disini sepertinya) tergantikan dengan "bahasa kalbu" (seperti ucapan anda) maka pada saat itu aura atau panjang gelombang atau kesalingpahaman menjadi kata-kata untuk berkomunikasi.hanya beda wujud.
rrr...what did I talk about. rasanya ga penting2 amat yawh..
maaf deh kl ternyata ini tidak bermanfaat
-----------------------------------
mari tidak hanya berwacana.
Post a Comment